LPKAPNEWS, YOGYAKARTA — Ketua Majelis Tarjih dan
Tajdid Pimpinan Wilayah Muhammadiyah DI Yogyaakrta Ali Yusuf meluruskan
pemahaman terkait status anak yang belum diaqiqahi.
Paparan Ali disampaikan dalam sesi Mudarasah DI
Yogyakarta di Universitas Ahmad Dahlan pada Ahad (20/07). Ia menjelaskan bahwa
salah satu dalil kuat mengenai tuntunan aqiqah adalah hadis dari Samurah, dari
Nabi Muhammad Saw, yang berbunyi:
عَنْ سَمُرَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَالَ: كُلُّ غُلَامٍ مُرْتَهَنٌ بِعَقِيقَتِهِ، تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ السَّابِعِ،
وَيُحْلَقُ رَأْسُهُ، وَيُسَمَّى
“Dari Samurah, dari Nabi Saw, beliau bersabda: Setiap
anak laki-laki tergadai dengan aqiqahnya, disembelihkan untuknya (hewan aqiqah)
pada hari ketujuh, dicukur rambut kepalanya, dan diberi nama.” (HR. Ibnu
Majah).
Ali Yusuf menekankan bahwa hadis lain yang senada dari
riwayat Samurah bin Jundub juga menggunakan redaksi “murtahanun” atau
“rahinatun,” yang keduanya berarti “tergadai.”
Penggunaan istilah ini, menurutnya, mengandung makna
simbolik yang kuat. Rasulullah Saw menggunakan ungkapan ini untuk menunjukkan
betapa pentingnya pelaksanaan aqiqah, seolah-olah seorang anak “tergadai”
dengan aqiqahnya.
Namun, Ali Yusuf secara tegas meluruskan bahwa istilah
“tergadai” di sini tidak bermakna bahwa status anak menjadi tidak sah, tidak
diakui, atau cacat secara hukum syariat jika belum diaqiqahkan.
“Ungkapan tersebut merupakan bentuk penegasan dari Nabi
Saw bahwa aqiqah adalah ibadah yang sangat dianjurkan, bahkan termasuk dalam
kategori sunah muakkadah, yaitu sunah yang sangat ditekankan pelaksanaannya,”
jelas Ali Yusuf.
Lebih lanjut, ia menerangkan bahwa pelaksanaan aqiqah
adalah bagian dari adab Islam dalam menyambut kelahiran anak. Ini tidak hanya
menunjukkan rasa syukur orang tua, tetapi juga menunaikan salah satu hak anak
dalam tradisi keislaman.
Ali Yusuf menambahkan bahwa hadis-hadis mengenai aqiqah
menggunakan redaksi yang menunjukkan perintah dan dorongan kuat, seperti
“a’marana” (kami diperintahkan), “fa-ahriqu” (maka sembelihlah), dan
“murtahanun” (tergadai). Redaksi ini oleh para ulama dipahami sebagai bentuk
anjuran yang sangat ditekankan.
Dari sini muncul perbedaan pandangan ulama mengenai hukum
aqiqah. Meskipun sebagian ulama berpendapat wajib, mayoritas ulama, termasuk
Imam Malik, Imam Syafi‘i, dan jumhur (kebanyakan) ulama, bersepakat bahwa
aqiqah adalah sunah muakkadah, yakni sunah yang sangat dianjurkan, tetapi tidak
berdosa jika ditinggalkan.
Ali Yusuf juga menegaskan bahwa hukum sunah ini berlaku
baik untuk anak laki-laki maupun perempuan. Jumhur ulama juga telah sependapat
bahwa aqiqah disyariatkan untuk semua anak, tanpa membedakan jenis kelamin,
sebagaimana dipahami dari keseluruhan praktik Nabi dan para sahabat.
Bisakah Pelaksanaan Aqiqah Setelah Hari Ketujuh
Kelahiran?
Meskipun hari ketujuh setelah kelahiran merupakan
kesunahan waktu yang diperintahkan untuk melaksanakan aqiqah, Ali Yusuf
mengakui adanya sebagian ulama yang berpendapat bahwa pelaksanaan aqiqah tetap
dibolehkan setelah hari ketujuh.
Pendapat tersebut sering disandarkan kepada hadis Nabi
Saw dari Aisyah, yang berbunyi:
عَنْ عَائِشَةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا لَا بَلِ السُّنَّةُ
أَفْضَلُ عَنِ الْغُلَامِ شَاتَانِ مُكَافِئَتَانِ، وَعَنِ الْجَارِيَةِ شَاةٌ تُقْطَعُ
جُدُولًا وَلَا يُكْسَرَ لَهَا عَظْمٌ فَيَأْكُلُ وَيُطْعِمُ وَيَتَصَدَّقُ، وَلْيَكُنْ
ذَاكَ يَوْمَ السَّابِعِ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فَفِي أَرْبَعَةَ عَشَرَ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ
فَفِي إِحْدَى وَعِشْرِينَ
“Dari Aisyah, ia berkata: Bukan (sekadar menyembelih),
tetapi yang lebih utama adalah mengikuti sunnah: untuk anak laki-laki dua ekor
kambing yang sepadan, dan untuk anak perempuan satu ekor kambing. Disembelih
dengan cara dipotong berurutan (anggota badannya), dan janganlah dipatahkan
tulangnya. Lalu (dagingnya) dimakan, diberikan kepada orang lain, dan
disedekahkan. Hendaklah dilakukan pada hari ketujuh (kelahiran). Jika tidak
bisa, maka pada hari keempat belas. Jika tidak bisa juga, maka pada hari kedua puluh
satu.” (HR. Hakim).
Ali Yusuf menjelaskan bahwa beberapa ulama yang
membolehkan pelaksanaan aqiqah di luar hari ketujuh, seperti pada hari keempat
belas atau kedua puluh satu, seringkali merujuk kepada riwayat tersebut dari
Hakim.
Namun, ia menekankan bahwa hadis tersebut dinilai lemah
(dha’if) oleh para ahli hadis. Secara metodologis, hadis dha’if tidak cukup
kuat untuk menjadi dasar dalam masalah ibadah yang bersifat ritual, apalagi
jika tidak didukung oleh hadis lain yang lebih sahih.
Berdasarkan Manhaj Tarjih Muhammadiyah, Ali Yusuf
menjelaskan bahwa hadis yang dapat dijadikan dasar hukum dan diamalkan dalam
praktik ibadah adalah hadis yang maqbul, yakni hadis yang memenuhi
kriteria sahih atau hasan. Adapun hadis yang berderajat dha‘if tidak
dijadikan landasan hukum kecuali apabila terdapat dalil lain yang kuat yang
dapat mengangkatnya menjadi hasan li ghairihi.
Dengan demikian, pelaksanaan aqiqah seharusnya tetap
berpegang pada waktu yang disyariatkan, yaitu pada hari ketujuh kelahiran. Jika
aqiqah dilakukan lebih dari hari ketujuh, tindakan tersebut bisa saja disebut
sebagai sedekah, bukan aqiqah sesuai tuntunan sunah.
Editor, Angcel
Sumber, Muhammadiyah Or Id