Oleh : Arwin Juli Rakhmadi Butar-Butar – Dosen FAI UMSU dan Kepala OIF UMSU

LPKAPNEWS - Buku berjudul “Awal & amp; Akhir Ramadhan Mengapa Harus Berbeda?” karya Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqiy ini terdiri dari x + 51 halaman, diterbitkan PT. Pustaka Rizki Putra, Semarang, cetakan ke-2, tahun 2002 M. Buku ini merupakan kumpulan artikel yang dimuat di Suara Muhammadiyah tahun 1393 H/1973 M. Dalam buku yang amat ringkas ini Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqiy setidaknya merumuskan tiga hal terkait Kalender Islam Global, yaitu: pertama, dunia berada dalam satu matlak. Kedua, keberlakuan rukyat bersifat global. Ketiga, titik acuan adalah kota Makkah. Dalam konteks ini Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqiy menyatakan sebagai berikut,

“Lantaran itu apabila telah terjadi ru’yah di suatu negara, dapatlah kita menyatakan bahwa seluruh daerah Islam telah wajib memulai puasa, karena semua mereka berserikat dalam menghadapi sebagian malam dari bulan baru” (hlm. 25) “Apabila telah diyakini adanya ru’yah di sesuatu negara maka hal ini tidaklah terbatas pada memulai puasa saja, tetapi berlaku juga pada memulai bulan yang berpautan erat dengan haji dan wuquf di Arafah” (hlm. 26)

“Dengan demikian, perayaan hari Arafah, hari nahar, hari tasyrik, haruslah didasarkan kepada mathla’ Mekkah. Mathla’nyalah yang harus menjadi satu-satunya mathla’ untuk menetapkan hari-hari ibadat yang berpautan dengan bulan dan mathla’nya” (hlm. 29).

 

“Awal & Akhir Ramadhan Mengapa Harus Berbeda?”

karya Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqiy (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, cet. Ii, 2002 M)

 

Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqiy

Tulisan Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqiy yang berjudul “Perbedaan Mathla’ Tidak Mengharuskan Berlainan Hari Memulai Puasa” yang dterbitkan di Suara Muhammadiyah nomor 9 tahun ke-53 (Rabiulakhir 1393 H/ Mei 1973 M).

Secara umum buku ini berisi 7 pembahasan yaitu:

Pertama, mukadimah. Di bagian ini Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqiy menyatakan ada tiga cara dalam menetapkan awal dan akhir Ramadan, yaitu : (1) berdasarkan rukyat, (2) menyempurnakan Syakban dan Ramadan 30 hari, dan (3) mengikuti penetapan para ahli hisab (hlm. 1). Ia menyatakan ada banyak ulama yang tidak lagi menggunakan perbedaan matlak. Dalam hal ini tatkala hilal telah terlihat di suatu negeri maka wajib bagi penduduk negeri lain memegangi kenyataan itu (hlm. 5).

Kedua, perbedaan Mathla’ Tidak Mengharuskan Berlainan Hari Memulai Puasa. Disini Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqiy mengemukakan dua pendapat besar tentang matlak. Pertama pendapat yang menyatakan adanya perbedaan matalak, dalam hal ini tiap-tiap daerah/negeri berpegang pada matlaknya masing-masing. Tatkala umat Islam Indonesia telah melihat bulan, maka wajiblah berpuasa. Sementara itu tidak wajib puasa atas penduduk daerah yang tidak melihat hilal. Dalilnya adalah hadis-hadis Nabi Saw, diantaranya “shumu li ru'yatihi wa af-thiru li ru'yatihi” (berpuasalah kalian karena melihat hilal dan berbukalah kalian karena melihat hilal), berikutya lagi diperkuat dengan hadis yang diriwayatkan dari Kuraib. Pendapat kedua, sebagian ulama menurut Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqiy berpendapat bahwa waktu-waktu ibadah berpautan dengan bulan, walaupun berbeda matlak. Apabila ada yang melihat bulan di salah satu benua (negeri) Islam, maka wajiblah seluruh umat Islam berpuasa, meskipun mereka berjauhan di selangi oleh laut-laut yang luas. Argumen pendapat ini adalah rukyat (keterlihatan hilal) dan karena semua umat Islam sesungguhnya sama-sama berpuasa dan mereka seluruhnya adalah umat yang satu.

Argumennya juga adalah hadis Nabis Saw “shumu li ru'yatihi wa af-thiru li ru'yatihi” yang menjadi dasar pegangan. Dalam hal ini tatkala hilal terlihat di salah satu daerah Islam, yaitu matlaknya lebih dulu, maka ia dianggap telah terlihat oleh semua umat. Lebih tegas Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqiy menyatakan, “…tidaklah diterima akal bahwa tuntunan melihat bulan dihadapkan kepada setiap orang. Ru'yah itu cukup dengan penglihatan sebagian mereka dan dengan ru'yah salah satu negeri” (hlm. 15). Menurutnya lagi ini adalah pendapat mazhab Malikiyah dan pendapat yang rajih (kuat) menurut ulama Hanafiyah dan Syafi'iyah (hlm. 15).

Ketiga, Permulaan Timbul Paham Perlainan Mathla’. Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqiy menegaskan bahwa pada dasarnya di masa Rasul Saw tidak pernah terjadi perbedaan pendapat dalam memulai puasa dan hari raya. Demikian lagi di masa khulafaur rasyidin, betapapun wilyah-wilayah Islam waktu itu telah begitu luas. Perbedaan baru muncul di zaman Muawiyah dan Ibn Abbas yang menurutnya lebih karena persoalan politik. Perbedaan yang terjadi sesungguhnya bukan perbedaan dalam bidang akidah atau dalam bidang dasar-dasar hukum, tetapi sebenarnya karena hilangnya kesatuan di antara umat Islam akibat pengaruh-pengaruh penjajah. Karenanya merupakan keharusan mewujudkan kembali ikatan yang teguh di antara umat Islam sedunia. Salah satu indikasi yang membawa umat Islam kepada persatuan adalah kesatuan pendapat dalam memulai puasa, hari raya, musim haji, dan hari-hari besar yang lain. Menurutnya ini tidak akan terealisasi kecuali dengan memegangi prinsip matlak global sebagaimana dikemukakan oleh jumhur ulama yaitu tidak menjadikan perbedaan matlak dasar menetapkan awal Ramadan, awal Syawal, dan awal Zulhijah. Menurutnya prinsip ini tidak menyalahi usul fikih dan tidak menyalahi para ulama. Semua mereka ini berpendapat, bahwa penduduk timur harus memulai puasa dengan rukyat penduduk barat, walaupun berbeda matlak (hlm. 18).

Keempat, Jalan yang Harus Kita Tempuh untuk Mewujudkan Kesatuan Umat dalam Melaksanakan Ibadat. Di bagian ini kembali Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqiy menegaskan pentingnya unifikasi sistem waktu di dunia Islam, diantaranya ia mengatakan sebagai berikut,

“Akan tetapi, perbedaan tempat letaknya negeri dan benua tidak menimbulkan pengaruh yang berarti dalam masalah menetapkan permulaan bulan, karena tidak ada diantara negara-negara Islam, baik di Timur ataupun di Barat yang berbeda mathla'nya sampai sehari penuh. Lantaran itu dapat memungkinkan penduduk dunia Islam menyatukan permulaan puasanya, yaitu dengan berpegang kepada ru'yah hilal yang dilihat oleh penduduk sesuatu negeri dari negeri-negeri Islam itu” (hlm. 21).

Lebih lanjut Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqiy mengatakan bahwa persatuan umat Islam dalam penanggalan akan menguatkan hubungan keagamaan yang baik antar negara, yang mana hal itu tidak bertentangan dengan hadis-hadis Nabi Saw tentang rukyatul hilal. Kembali dalam hal ini ia menegaskan bahwa cukuplah kiranya penduduk suatu negeri untuk memulai puasa dengan rukyat di negeri (benua) lain.

Berikut pernyataan lengkap Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqiy,

“Oleh karena itu kebanyakan ulama tidak memakai prinsip ikhtilaf mathali’  dalam menetapkan awal bulan, inilah pendapat yang harus kita hargai. Lebih-lebih lagi bersatunya umat Islam dalam memulai puasa, adalah salah satu dari sebab yang menumbuhkan hubungan keagamaan antara satu benua dengan benua yang lain, dan membawakan kepada satu kata dan satu jalan. Pendapat atau tanggapan ulama ini, tidaklah berlawanan dengan “shumu li ru'yatihi wa af-thiru li ru’yatihi”, karena khitab ini, Nabi menegakkan syiar agama dan dalam mewajibkan puasa atas segala mukallaf apabila telah pasti adanya hilal. Karenanya cukuplah untuk penduduk sesuatu negeri untuk memulai puasa, apabila telah ada ru’yah di suatu negeri atau benua yang lain. Hadits ini tidak mengatakan: “tidak wajib puasa melainkan atas orang yang melihat sendiri hilal Ramadhan”. Kalau demikian tidak ada perbedaan antara suatu benua dengan benua yang lain. Tidak ada perbedaan antara negara-negara Timur dan negara-negara sebelah Barat dalam masalah mengawali bulan Ramadhan” (hlm. 23).

Ia menyatakan lagi, “Kesimpulannya dalam masalah ikhtilaf mathali’ (perbedaan letak geografis), masalah ijtihad bukan masalah nash, maka tidak ada salahnya kita memilih atau mentarjihkan pendapat yang tidak menggunakan ikhtilaf mathali’” (hlm. 24). “Lantaran itu apabila telah terjadi ru’yah di suatu negara, dapatlah kita menyatakan bahwa seluruh daerah Islam telah wajib memulai puasa, karena semua mereka berserikat dalam menghadapi sebagian malam dari bulan baru” (hlm. 25).

Kelima, Ru’yah Mekkah yang Harus Dijadikan Pegangan Bersama. Di bagian ini Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqiy menyatakan bahwa Makkah adalah matlak yang ideal dalam unifikasi ibadah dan penanggalan. Alasannya tidak lain karena kiblat, Kakbah, al-Bait al-Haram, arafah, dan lain-lain. Ia menyatakan, “Dengan demikian, perayaan hari arafah, hari nahar, hari tasyrik, haruslah didasarkan kepada mathla’ Mekkah. Mathla’nyalah yang harus menjadi satu-satunya mathla’ untuk menetapkan hari-hari ibadat yang berpautan dengan bulan dan mathla’nya” (hlm. 29).

Keenam, Beberapa Kaifiyat Sekitar Ru’yah. Di bagian ini Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqiy menjelaskan aneka metode dan tata cara (kaifiyat) serta pendapat ulama tentang rukyat dan hisab. Antara lain dijelaskan kesunahan melihat anak bulan, hukum melihat hilal dengan teropong, dan pendapat para ahli hisab dan rukyat. Selain itu juga dijelaskan tentang puasa bagi penduduk di daerah kutub.

Ketujuh, Mengarahkan Pandangan pada Ru’yah Mekkah Tidak Menimbulkan Problema Negatif (Catatan Tambahan). Di bagian ini berisi diskusi Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqiy dengan Ir. Basit Wahid (tokoh falak Muhammadiyah) tentang matlak Makkah, yang mana Basit Wahid menolak penggunaan matlak atau rukyat Makkah karena dikhawatirkan menimbulkan banyak problem. Alasan penolakan Basit Wahid sendiri seperti dikemukakan Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqiy adalah: pertama, menimbulkan kesulitan bagi umat Islam yang berita rukyat tidak sampai kepada mereka di permulaan malam, seperti penduduk Sydney. Kedua, kemungkinan orang yang di sebelah barat kota Mekkah melihat hilal lebih dahulu. Ketiga, merupakan suatu bid’ah baru lantaran ijtihad seorang mujtahid zaman sekarang (hlm. 40).

Atas kritik dan penolakan Basit Wahid ini, Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqiy menjawab dengan sejumlah argumen diantaranya bahwa pada dasarnya hal itu tidaklah menimbulkan kesukaran dan tidak perlu dikeluhkan. Khusus terkait rukyat yang telah terjadi dan definitif di sebelah barat Makkah, maka rukyat tersebut ditransfer ke daerah lain dan termasuk ke Makkah. Artinya kota Makkah tidak serta-merta menjadi sentral pengamatan hilal, namun lebih menjadi pedoman (titik) awal hari dan awal tanggal. Dalam konteks ini Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqiy mencontohkan dan mengilustrasikan keterlihatan hilal di berbagai tempat dan negara seperti di Dakar, Jakarta, dan Sydney.

Demikian pemikiran Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqiy tentang dinamika perbedaan puasa dan hari raya serta konsepsinya tentang penyatuan penanggalan Islam dunia. Secara substansi, karya Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy ini menawarkan fondasi
fikih yang kuat untuk Kalender Islam Global dengan satu matlak, rukyat global, dengan Makkah sebagai titik acuan. Namun tidak dipungkiri kelemahannya adalah masih bersifat teoretis dan absennya elaborasi teknis implementasi. Namun demikian melalui pemikirannya tentang hal ini ia dapat dinyatakan sebagai pelopor dan pemikir-teoretik Kalender Internasional (Global) pertama di Indonesia, betapapun sekali lagi belum ditopang dengan konsep teknis-praktik-implementatif. Namun secara historis pemikirannya ini lebih dulu dari Muktamar Istanbul tahun 1398 H/1978 M (yang menginisiasi Muktamar Turki 1438 H/2016 M dan KHGT Muhammadiyah.

(Redaksi)