TANJUNG PINANG, LPKAPNEWS - Dua puluh empat tahun sudah Kota Tanjungpinang berdiri sebagai daerah otonom. Sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor : 5 Tahun 2001 tentang Pembentukan Kota Tanjungpinang, kota ini resmi berdiri di atas fondasi kemandirian pemerintahan, pembangunan, dan pengelolaan asetnya sendiri.
Namun, di balik usia otonomi yang kian dewasa itu, terselip ironi yang menusuk. Tanjungpinang ternyata belum benar-benar otonom atas asetnya sendiri.
Pasal 14 Undang-Undang Nomor : 5 Tahun 2001 sejatinya adalah pasal kunci bagi lahirnya kemandirian tersebut. Di dalamnya, amanat hukum begitu tegas bahwa seluruh pegawai, Barang Milik Negara atau Daerah, Tanah, Bangunan, termasuk Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) yang kedudukan dan kegiatannya berada di Kota Tanjungpinang, wajib diinventarisasi dan diserahkan kepada Pemerintah Kota Tanjungpinang.
Penyerahan itu bahkan diberi tenggat waktu yang pasti, paling lambat satu tahun setelah pelantikan Penjabat Wali Kota Tanjungpinang, atau sekitar tahun 2002.
Namun dua dekade lebih berlalu, perintah undang-undang itu masih terabaikan. Dari puluhan aset yang secara hukum seharusnya menjadi milik Pemerintah Kota Tanjungpinang, tercatat hanya delapan aset yang telah diserahkan.
Enam di antaranya berupa tanah dan bangunan. Sementara selebihnya, puluhan bidang tanah strategis, gedung, serta aset produktif lain yang masih dikuasai oleh sebuah badan usaha milik daerah Kabupaten Bintan bernama PT. Bintan Inti Sukses (PT. BIS).
Kisah ini lebih dari sekadar sengketa administratif. Ia adalah potret buram dari lemahnya pengawasan atas amanat hukum dan rapuhnya tanggung jawab pemerintah daerah dalam menghormati batas kewenangan otonomi.
Bukannya menyerahkan aset sesuai amanat undang-undang, Pemerintah Kabupaten Kepulauan Riau (yang kemudian menjadi Kabupaten Bintan) justru pada tahun 2007 dan 2010 menjadikan sejumlah aset di wilayah Kota Tanjungpinang sebagai bagian dari penyertaan modal kepada BUMD PT BIS.
Artinya, aset yang seharusnya telah menjadi milik Pemerintah Kota Tanjungpinang dialihkan menjadi aset korporasi BUMD Kabupaten Bintan.
Di titik ini, pelanggaran tidak lagi bersifat administratif, melainkan substantif. Pemerintah Kabupaten Bintan secara hukum tidak lagi memiliki kewenangan terhadap aset yang berada di wilayah Tanjungpinang sejak tahun 2002. Maka, setiap tindakan pengalihan, penyerahan, atau penyertaan modal yang dilakukan setelah itu, termasuk kepada PT. BIS dapat dianggap tidak sah dan bertentangan dengan hukum positif.
Namun yang lebih menyedihkan, pembiaran ini tidak berhenti di masa lalu. Selama 24 tahun, Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau seperti menutup mata terhadap fakta hukum ini.
Tidak ada langkah konkret yang terlihat untuk menegakkan amanat Pasal 14, UU No. 5 Tahun 2001. Padahal, sesuai fungsi koordinatif dan pembinaan yang melekat pada pemerintah provinsi, seharusnya Gubernur Kepulauan Riau berperan aktif memastikan penyelesaian penyerahan aset dimaksud.
Diamnya provinsi dan pasifnya DPRD memperpanjang rantai ketidakadilan terhadap Kota Tanjungpinang. Kota yang menjadi Ibu Kota Provinsi justru tidak berdaulat atas tanah dan gedung yang berdiri di wilayahnya sendiri.
Sementara BUMD milik kabupaten lain mengelola dan memanfaatkan aset itu untuk kepentingan korporatif, bahkan sebagian dialihkan kepada pihak ketiga. Jika ini bukan bentuk anomali hukum, maka sulit mencari istilah yang lebih tepat.
Pemerintah Kota Tanjungpinang seharusnya tidak lagi berdiam diri. Wali Kota memiliki legitimasi hukum dan moral untuk menegakkan hak atas aset daerahnya. Langkah awal yang perlu dilakukan ialah audit menyeluruh terhadap seluruh aset yang berada di wilayah kota, termasuk yang saat ini masih tercatat atau dikuasai oleh PT. BIS.
Hasil audit ini perlu dijadikan dasar formal untuk mengajukan klaim hukum atas nama Pemerintah Kota Tanjungpinang, baik melalui mekanisme administratif di Kementerian Dalam Negeri maupun melalui jalur hukum di lembaga peradilan.
Selain itu, DPRD Kota Tanjungpinang mesti mengambil posisi yang lebih vokal. Fungsi pengawasan bukan sekadar formalitas rapat dengar pendapat, tetapi harus diwujudkan dalam bentuk tekanan politik dan rekomendasi resmi kepada Gubernur Kepulauan Riau agar menjalankan tanggung jawab pembinaan dan penertiban aset daerah sesuai ketentuan perundang-undangan. Di atas semuanya, ini bukan hanya soal aset fisik, melainkan soal martabat Otonomi daerah.
Tidak ada Otonomi tanpa kedaulatan atas aset. Sebuah kota tidak mungkin menyelenggarakan pemerintahan secara mandiri jika tanah dan gedung yang menjadi basis pelayanan publik masih dikuasai oleh entitas hukum lain di luar yurisdiksinya.
Lebih parah lagi, jika penguasaan itu berlangsung di bawah naungan BUMD kabupaten lain, maka yang terjadi bukanlah kerja sama antar daerah, tetapi bentuk nyata subordinasi ekonomi dalam struktur otonomi itu sendiri.
Tanjungpinang berhak atas otonominya, dan otonomi tidak berhenti pada urusan administratif belaka. Ia mencakup penguasaan, pengelolaan, dan pemanfaatan seluruh sumber daya yang berada di wilayah hukumnya.
Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau dan DPRD Provinsi tidak boleh menunggu lagi. Pembiaran terhadap pelanggaran amanat Pasal 14 UU Nomor : 5 Tahun 2001 adalah pembiaran terhadap ketidakadilan dan pengabaian terhadap supremasi hukum.
Dua Puluh Empat Tahun adalah waktu yang cukup panjang untuk berdiam diri. Kini saatnya Tanjungpinang menagih kembali hak atas tanahnya sendiri, bukan sekadar demi kejelasan aset, tetapi demi Kehormatan Otonomi dan wibawa hukum yang selama ini ditelantarkan.
Jika undang-undang bisa diabaikan selama seperempat abad tanpa konsekuensi, maka yang hilang bukan hanya aset kota, tapi juga Marwah Ibukota Provinsi Kepri.
Sumber, Mardy