Meneguhkan Kolektif Kolegial dalam Kepemimpinan Muhammadiyah, Amrizal, S.Si., M.Pd   (Wakil Ketua MPKSDI PWM Sumut/Dosen Unimed)

 LPKAPNEWS, MEDAN - “Hidup-hidupilah Muhammadiyah, jangan mencari hidup di Muhammadiyah.”—KH. Ahmad Dahlan. (Pesan ini berarti setiap pimpinan harus berjuang dengan keikhlasan dan tanggung jawab, bukan mencari kehormatan atau kekuasaan). Muhammadiyah adalah gerakan Islam yang tidak hanya meletakkan fondasi akidah dan ibadah, tetapi juga menanamkan prinsip organisasi modern yang berakar pada nilai-nilai Islam. Salah satu prinsip fundamental dalam kepemimpinan Muhammadiyah adalah kolektif kolegial—sebuah sistem yang memuliakan musyawarah, menjunjung tinggi kebersamaan, dan menolak dominasi pribadi. 

Namun, dalam praktiknya, prinsip ini tidak selalu dipahami secara utuh oleh seluruh jajaran pimpinan. Tidak jarang terjadi distorsi peran, tumpang tindih fungsi, bahkan pelecehan terhadap batas kewenangan. Maka, menjadi penting bagi seluruh pimpinan di berbagai level untuk kembali merenungi hakikat kepemimpinan kolektif kolegial agar organisasi tetap bergerak dalam koridor yang benar dan amanah.

Makna Kolektif Kolegial.

Secara terminologis, kolektif kolegial berarti kepemimpinan yang dijalankan secara bersama-sama (kolektif) oleh sekelompok pimpinan yang memiliki kedudukan setara (kolegial), meskipun masing-masing memiliki pembagian tugas yang jelas. Dalam praktiknya, keputusan diambil melalui musyawarah, bukan kehendak pribadi. Ketua bukanlah pemilik organisasi, melainkan primus inter pares (yang utama di antara yang setara). Ia bukan penguasa tunggal, tapi koordinator dari sinergi bersama. Model ini sesuai dengan firman Allah SWT: “Dan urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah di antara mereka.” (QS. Asy-Syura: 38)

Sistem ini juga meneladani cara Rasulullah SAW bermusyawarah dengan para sahabat dalam berbagai perkara, termasuk dalam strategi perang, pembangunan kota Madinah, dan urusan sosial masyarakat.

Urgensi Memahami Peran dan Fungsi.

Salah satu masalah krusial yang sering muncul dalam tubuh organisasi adalah tidak jelasnya pemahaman terhadap tugas dan fungsi jabatan. Ini berdampak pada:

· Tumpang tindih pekerjaan

· Salah ambil peran

· Melebihi batas kewenangan

· Terjadinya konflik horizontal

Misalnya, seorang wakil ketua merasa menjadi ketua sehingga bertindak tanpa koordinasi. Atau seorang sekretaris menjalankan fungsi eksekutif ketua tanpa mandat. Bahkan, tidak jarang pimpinan “diam” karena tidak tahu harus berbuat apa. Padahal, semua itu sangat membahayakan keberlangsungan gerakan. Padahal Rasulullah SAW mengingatkan: "Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya & quot; (HR. Bukhari dan Muslim)

Untuk menjaga marwah kepemimpinan Muhammadiyah yang kolektif kolegial, beberapa langkah penting harus dilakukan:

1. Pahami AD/ART Muhammadiyah secara menyeluruh. AD/ART adalah rambu utama yang mengatur struktur dan pembagian tugas. Pimpinan wajib mempelajari dan menjadikannya sebagai pedoman harian.

2. Susun Job Description yang jelas. Setiap pimpinan harus memiliki panduan tugas tertulis. Job description bukan sekadar formalitas, tapi panduan kerja agar tidak ada dominasi ataupun kekosongan fungsi.

3. Bina Komunikasi dan Musyawarah yang Hidup. Rapat tidak hanya sebagai forum administratif, tapi harus menjadi wahana membangun sinergi, memperkuat ideologi, dan menyelesaikan potensi konflik.

4. Perkuat Pembinaan Kader dan Baitul Arqam. Pimpinan perlu terus menerus ditumbuhkan semangat ideologis dan kemampuan teknisnya. Baitul Arqam harus dijadikan sebagai ruang penyamaan visi.

5. Tegakkan Etika Berorganisasi. Dalam Muhammadiyah, adab lebih tinggi dari jabatan. Saling menghargai, tawadhu’, dan tidak saling mengklaim kewenangan adalah tanda kematangan organisasi.

Prof. Dr. Haedar Nashir menegaskan:  Kepemimpinan dalam Muhammadiyah bukan tempat untuk memamerkan kekuasaan, melainkan medan pengabdian untuk umat dan bangsa. Kolektif kolegial adalah budaya luhur yang harus dijaga.”

Sementara Buya Syafi’i Ma’arif menyampaikan: “Jabatan adalah amanah, bukan warisan. Pemimpin Muhammadiyah harus tahu arah perjuangan dan bekerja untuk kebaikan bersama, bukan untuk dirinya sendiri.” Kepemimpinan kolektif kolegial bukanlah sekadar sistem, tapi ruh gerakan yang melahirkan budaya musyawarah, tanggung jawab kolektif, dan kesetaraan. Bila dipahami dengan baik, maka organisasi akan bergerak secara harmonis dan produktif. Namun jika diabaikan, ia akan menjadi sumber konflik dan melemahkan gerakan.

Mari kita jaga marwah kepemimpinan Muhammadiyah. Kita bukan hanya dituntut paham aturan, tetapi juga harus paham ruh amanah yang menyertainya. Sebab, keberhasilan Muhammadiyah bukan terletak pada hebatnya satu tokoh, melainkan pada kuatnya kerja kolektif dalam semangat kolegial. “Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berjuang di jalan-Nya dalam barisan yang teratur, seakan-akan mereka seperti bangunan yang kokoh tersusun.” (QS. As-Saff: 4)  “Dalam Muhammadiyah, kepemimpinan bukan soal siapa yang paling berkuasa, tetapi siapa yang paling mampu bekerjasama dalam amanah yang sama.”

Editor, Angcel

Sumber, Infomu