LPKAPNEWS, SURAKARTA – Majelis Hukum dan HAM Pimpinan Pusat
Muhammadiyah menyelenggarakan Focus Group Discussion (FGD) bertema “Pemikiran Hukum Muhammadiyah”
di Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), Jumat (04/07).
Dalam forum ini, Ketua
Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, Hamim Ilyas, menegaskan bahwa mazhab
hukum Muhammadiyah tidak bisa dipahami hanya sebagai hukum Tuhan secara
tekstual. Sebaliknya, ia menekankan bahwa yang dikembangkan adalah mazhab hukum
profetik, yakni hukum yang bersumber dari Al-Qur’an, hadis, dan nilai-nilai
kemaslahatan umat.
Menurut Hamim,
pemahaman Muhammadiyah tentang hukum Islam tidak terbatas pada aspek ritual,
tetapi mencakup cita-cita besar untuk mewujudkan kesejahteraan hidup manusia
secara menyeluruh dari materi dan spiritual sampai dunia dan akhirat.
Hamim menyebut,
“Mazhab hukum Muhammadiyah adalah hukum profetik yang berlandaskan tauhid,
ibadah, dan amal shaleh, serta diarahkan untuk memakmurkan bumi melalui akal
sehat yang dinamis dan progresif.”
Dalam penjelasannya,
Hamim merujuk pada Mukadimah Anggaran Dasar Muhammadiyah yang memuat tujuh
pokok ajaran: ketuhanan, kemanusiaan, kemasyarakatan, keagamaan, ittiba’ Rasul,
amar ma’ruf nahi munkar, dan kenegaraan.
Ajaran tentang
kemasyarakatan menjadi titik tekan, karena mengarahkan umat pada tatanan hidup
yang adil, damai, gotong royong, dan penuh persaudaraan.
Hukum Allah yang
bersumber dari Al-Qur’an dan hadis, menurut Hamim, tetap menjadi rujukan utama
dalam urusan ibadah yang bersifat tetap. Namun untuk persoalan-persoalan sosial
yang tidak memiliki nash langsung, pendekatan analogi (qiyas) dan persamaan illat
menjadi dasar penetapan hukum.
Di sinilah,
menurutnya, kerap terjadi kesalahpahaman publik yang menyempitkan hukum
Muhammadiyah sebagai mazhab hukum Tuhan secara sempit.
Ia menjelaskan bahwa
dalam Kepribadian Muhammadiyah poin kelima, ditegaskan sikap penghormatan terhadap hukum,
undang-undang, serta dasar negara yang sah. Hal ini menunjukkan bahwa
Muhammadiyah tidak menolak positivisme hukum, tetapi justru menyelaraskannya
dengan semangat profetik yang dibawa oleh para nabi dari Adam hingga Muhammad
SAW.
Hamim juga mengkritik
penyempitan makna syariah pasca era Abbasiyah yang menyamakan syariah dengan
fikih semata. Ia mengusulkan agar Muhammadiyah kembali pada pengertian syariah
sebagaimana dalam Al-Qur’an, yakni mencakup lima aspek penting yang pernah Allah
anugerahkan kepada Bani Israil: kitab suci, kekuasaan, kenabian, kemakmuran,
dan keunggulan.
“Kalau hukum agama
hanya dimaknai hukum ibadah, maka Islam kehilangan peran peradabannya. Syariah
dalam pengertian Qur’ani itu adalah jalan menuju urusan-urusan besar (al-amr),
yang mencakup kitab, hukum, nubuwwah, kemakmuran, dan keunggulan,” jelasnya.
Hamim juga menyoroti
kecenderungan menjadikan Islam sebatas ritual, terutama dalam pemaknaan rukun
Islam secara populer (dari syahadat hingga haji). Ia menyebut bahwa pemahaman
ini menyempitkan Islam sebagai agama formalistik, padahal dalam hadis sahih riwayat
Muslim dari Umar bin Khattab, rukun Islam mencakup Islam, iman, dan ihsan.
Dalam konteks
Muhammadiyah, ia menegaskan bahwa amal usaha harus dipahami sebagai “rukun
Islam ekstra”, karena menjadi instrumen konkret dakwah dan pembaruan sosial.
Ini berbeda dari kelompok lain yang mungkin menempatkan tahzir atau peringatan
bid’ah sebagai elemen utama.
Dalam kerangka ini,
Hamim menawarkan istilah “mazhab hukum profetik”, yaitu sistem hukum yang
dibangun atas dasar tauhid, ibadah, dan fi’lal khairat (amal-amal kebajikan),
dengan fungsi hukum sebagai alat rekayasa sosial untuk menciptakan peradaban,
kesejahteraan, dan keunggulan.
Ia pun menyayangkan
bahwa ushul fikih klasik yang digunakan sampai sekarang tidak lagi relevan
dengan tuntutan zaman. Ia menilai banyak definisi dan sumber hukum dalam ushul
fikih yang sudah tidak koheren. Misalnya, hukum disebut sebagai khitabullah (titah Tuhan), tapi kemudian ada ijmak dan
qiyas yang tidak lagi sepenuhnya bisa disebut sebagai titah Tuhan melainkan
konstruksi para ulama.
“Muhammadiyah sudah
saatnya menyusun ushul fikih sendiri. Kita tidak bisa terus memakai kerangka
lama yang menekankan Islam sebagai agama ritual. Hukum tidak boleh hanya
menjadi formalitas, tapi harus mencerminkan nilai-nilai rahmat dan kemajuan,”
ungkap Hamim.
Ia juga mengkritik
implementasi ekonomi syariah yang masih bersandar pada fikih muamalah klasik.
Menurutnya, fikih perbankan Islam masih terlalu bertumpu pada akad-akad
klasik seperti mudharabah dan murabahah yang digunakan sebagai hilah (celah hukum) untuk menghindari riba. Ia
mendorong penyusunan fikih perbankan tersendiri yang lebih relevan dan
menyeluruh.
“Perbankan syariah
kita ini masih menggunakan akad-akad hilah hukum. Supaya tidak bunga, maka
digunakanlah murabahah dan mudharabah. Ini bukan solusi sistemik. Perlu disusun
fikih perbankan yang otentik,” tegasnya.
FGD ini ditutup dengan
seruan Hamim agar diskusi seperti ini terus dilanjutkan guna memperkaya
pengembangan mazhab hukum profetik Muhammadiyah. Ia menekankan bahwa hukum
Islam yang dikembangkan tidak boleh semata ritualistik, tetapi harus mampu
melakukan rekayasa sosial, membangun peradaban, dan menciptakan kesejahteraan
umat.
“Ini kerja jangka
panjang. Tapi kalau tidak kita mulai, kita akan terus terjebak dalam kerangka
hukum lama yang tidak sesuai lagi dengan spirit Islam sebagai agama rahmat dan
pembawa kemajuan“, ujar Hamim lalu menambahkan, “Hukum profetik seharusnya menjadi
alat memakmurkan bumi, bukan justru meruntuhkan bangunan peradaban.”
Editor, Angcel
Sumber, Muhammadiyah Or Id