Sumatera Utara di Simpul Strategis: Mampukah Muhammadiyah Wujudkan 60% Cabang Aktif

LPKAPNEWS, MEDAN - Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah yang berbasis komunitas telah membuktikan dirinya sebagai kekuatan sosial-keagamaan yang berpengaruh besar di Indonesia. Dalam perkembangan mutakhir, Lembaga Pengembangan Cabang, Ranting dan Pembinaan Masjid (LPCR PM) Pimpinan Pusat Muhammadiyah mengusung target besar dalam mengonsolidasikan kembali kekuatan akar rumput organisasi—yakni cabang dan ranting. Target pembentukan cabang aktif sebanyak 60% dari total kecamatan dan ranting sebanyak 40% dari total
desa/kelurahan di Indonesia, bukan hanya ambisi organisasi, tapi juga refleksi dari kebutuhan zaman.

Sumatera Utara (Sumut), sebagai provinsi dengan keberagaman etnis, sosial, dan dinamika Islam yang khas, menempati posisi strategis dalam misi ini. Dengan jejak historis Muhammadiyah yang cukup kuat di wilayah ini, pertanyaannya kini: mampukah Muhammadiyah Sumut menjawab tantangan dan harapan untuk mewujudkan minimal 60% cabang aktif?

Dinamika Keumatan dan Geoposisi Muhammadiyah di Sumut
Sumatera Utara memiliki sejarah panjang keterlibatan Muhammadiyah dalam dakwah, pendidikan, dan pelayanan sosial. Kota Medan, sebagai ibu kota provinsi, pernah menjadi simpul utama pertumbuhan Muhammadiyah di luar Jawa. Keberadaan lembaga pendidikan seperti Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU), amal usaha kesehatan, hingga pesantren dan masjid menunjukkan bahwa Muhammadiyah telah lama menjadi bagian dari denyut kehidupan masyarakat Sumut.

Namun di balik capaian itu, terdapat tantangan mendasar yang tak bisa diabaikan. Sebagian wilayah Sumut memiliki medan geografis yang menantang, akses infrastruktur yang belum merata, dan ketimpangan ekonomi yang tinggi. Hal ini turut memengaruhi keberlangsungan dan konsistensi aktivitas cabang dan ranting Muhammadiyah. Banyak cabang atau ranting yang secara administratif masih tercatat aktif, namun secara fungsional mulai melemah: tidak mengadakan rapat rutin, tidak memiliki program dakwah yang terarah, atau bahkan mengalami kekosongan kepemimpinan.

Provinsi Sumatera Utara memiliki 25 kabupaten dan 8 kota, dengan total 33 wilayah administratif. Jumlah kecamatannya adalah 450, menurut data dari STEKOM.  Jika mengacu pada target LPCR PP Muhammadiyah sebesar 60% dari jumlah kecamatan, maka idealnya Sumut harus memiliki tidak kurang dari 270 cabang aktif., Semntara menurut data LPCR –PM PWM SUMUT masih dibawa rata-rata . Apakah jumlah ini telah terpenuhi secara kualitas dan kuantitas?

Pertanyaan ini harus dijawab dengan jujur. Sebab keberadaan cabang dan ranting bukan hanya soal struktur organisasi, melainkan nyawa dakwah Muhammadiyah itu sendiri. Cabang dan ranting adalah tempat bertemunya pengajian, aktivitas sosial, kaderisasi, dan gerak amal usaha dari bawah. Jika struktur ini lemah, maka Muhammadiyah akan kehilangan daya dobraknya di tengah masyarakat, terutama di daerah-daerah yang menjadi titik krusial perkembangan keislaman.

Antara Target Nasional dan Realitas Kultural Lokal
Target nasional yang dicanangkan oleh LPCR PM PP Muhammadiyah tentu telah melalui berbagai kajian dan pertimbangan strategis. Namun dalam implementasinya, penting untuk memahami bahwa keberhasilan tidak hanya ditentukan oleh angka, tetapi juga oleh konteks lokal dan kemampuan adaptasi organisasi di masing-masing wilayah. Sumatera Utara adalah miniatur Indonesia dalam hal keberagaman. Di satu sisi, kita melihat kawasan pesisir timur yang relatif padat dan terhubung secara infrastruktur, seperti Medan, Deli Serdang, Langkat, hingga Tebing Tinggi. Di sisi lain, ada daerah dataran tinggi dan pedalaman seperti Karo, Tapanuli, dan Nias yang memiliki karakteristik sosial dan budaya yang sangat berbeda.

Dalam konteks ini, keberadaan cabang dan ranting Muhammadiyah harus bisa membaca realitas sosial tersebut. Pendekatan dakwah yang berhasil di kota besar, belum tentu efektif diterapkan di desa terpencil. Ranting Muhammadiyah yang kuat di lingkungan urban belum tentu bisa ditiru mentah-mentah oleh ranting di daerah adat yang dominan Kristen, misalnya.

Diperlukan pendekatan kontekstual, sabar, dan berakar di masyarakat.
Salah satu tantangan utama di Sumut adalah regenerasi kepemimpinan di tingkat cabang dan ranting. Banyak struktur ranting yang stagnan karena tidak ada kader muda yang siap memimpin. Masalah ini berkaitan langsung dengan belum optimalnya kaderisasi di akar rumput, minimnya pelatihan, dan belum terbangunnya budaya evaluasi yang sehat. Selain itu, tantangan internal lainnya adalah soal administrasi.

Banyak ranting yang tidak memiliki data base jamaah yang akurat, laporan kegiatan tidak dibuat secara periodik, dan belum memanfaatkan teknologi informasi. Padahal, LPCR PP telah meluncurkan berbagai aplikasi seperti Salamu, Sicara, dan Notulenmu yang dapat membantu proses pelaporan, pendataan, dan pemantauan aktivitas cabang dan ranting. Sumatera Utara harus segera menjawab tantangan ini, karena jika tidak, ia akan tertinggal dari wilayah-wilayah lain, seperti Jawa Tengah atau Jawa Timur yang sudah jauh lebih mapan dalam pengelolaan cabang dan ranting. Momentum digitalisasi dan perintah struktural tidak akan cukup jika tidak dibarengi
dengan pergerakan dari bawah yang disemai oleh semangat kaderisasi dan penguatan nilai-nilai ideologis Muhammadiyah.

Jalan Menuju 60%: Strategi, Kolaborasi, dan Akselerasi LPCR Wilayah
Untuk menjawab tantangan di atas, LPCR PWM Sumatera Utara tidak bisa bekerja sendirian. Butuh sinergi antara LPCR dengan Majelis Tabligh, Majelis Pendidikan Kader (MPK), hingga Amal Usaha Muhammadiyah (AUM) yang ada di masing-masing daerah. Strategi yang dibutuhkan adalah pendekatan terpadu dan terencana, berbasis data dan partisipatif.

Pertama, perlu dilakukan pemetaan menyeluruh atas kondisi cabang dan ranting di Sumut.
Data ini harus meliputi status administratif, keberlangsungan kegiatan, jumlah kader aktif, aset fisik, dan jangkauan dakwah. Dari pemetaan ini, LPCR PWM bisa mengklasifikasi mana ranting yang potensial untuk ditingkatkan, mana yang perlu direvitalisasi, dan mana yang sudah tidak aktif sama sekali.

Kedua, penguatan kapasitas sumber daya manusia menjadi kunci. Pelatihan pengelolaan organisasi tingkat cabang dan ranting harus digalakkan secara rutin. Kader muda yang bersemangat harus diberi ruang dan dukungan untuk memimpin ranting. Kolaborasi dengan MPK dan IPM, Tapak Suci, hingga Pemuda Muhammadiyah menjadi penting dalam proses regenerasi ini.

Ketiga, Muhammadiyah Sumut harus mampu memanfaatkan aplikasi digital secara maksimal. Penggunaan aplikasi Salamu dan Sicara tidak hanya membantu dalam hal administrasi, tapi juga membuka ruang transparansi dan akuntabilitas antarstruktur. LPCR PWM bisa menjadikan laporan berbasis aplikasi sebagai indikator penilaian kinerja cabang dan ranting.

Keempat, strategi revitalisasi masjid juga harus masuk dalam desain penguatan ranting. Masjid Muhammadiyah tidak boleh hanya jadi tempat shalat, tapi harus menjadi pusat dakwah komunitas. LPCR bersama Majelis Tabligh dan Majelis Ekonomi bisa menghidupkan kembali peran masjid melalui program seperti masjid produktif, pengajian warga, hingga koperasi masjid.

Kelima, perlu adanya pendekatan kolaboratif dengan pemerintah daerah dan lembaga mitra. Banyak program sosial pemerintah yang bisa disinergikan dengan program Muhammadiyah di tingkat cabang dan ranting, seperti pengentasan stunting, penyuluhan kesehatan, hingga program literasi. Muhammadiyah harus hadir bukan hanya sebagai ormas Islam, tapi sebagai kekuatan sosial yang solutif.

Terakhir, yang tak kalah penting adalah semangat konsolidasi ideologis. Dalam berbagai dinamika yang terjadi, Muhammadiyah harus menjaga kemurnian gerakan dakwahnya. Ranting dan cabang harus menjadi benteng pemikiran Islam Berkemajuan yang mencerahkan dan membebaskan, bukan sekadar struktur kosong yang kehilangan ruh gerakannya.

Penutup: Sumut, Jangan Jadi Penonton
Sumatera Utara bukan sekadar wilayah yang besar dan strategis, tapi juga memiliki sejarah panjang sebagai kawasan dengan dinamika Islam yang kompleks dan beragam. Dalam konteks target nasional LPCR PP Muhammadiyah, Sumut harus menempatkan dirinya bukan sebagai penonton, tetapi sebagai pemain utama. Mewujudkan 60% cabang aktif di Sumatera Utara bukanlah pekerjaan mudah. Ia membutuhkan kerja kolektif, strategi cerdas, dan kesungguhan ideologis. Tapi jika kerja ini dilakukan dengan serius, maka bukan tidak mungkin Sumut akan menjadi model keberhasilan penguatan struktur Muhammadiyah di luar Pulau Jawa.

Kita tidak lagi hidup di zaman ketika organisasi besar bisa berjalan hanya dengan karisma tokoh atau warisan sejarah. Muhammadiyah Sumut harus menjemput tantangan baru dengan semangat baru. Sebab masa depan gerakan dakwah ini, bukan hanya ditentukan oleh pusat, tapi oleh kekuatan akar rumputnya: cabang dan ranting.

Penulis adalah Sekretaris LPCR-PM Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sumatera Utara , Dosen Fakultas Teknik UMSU dan Ketua Asosiasi Alumni Teknologi Teladan Medan (AATT)