Launching KHGT (Tanggapan atas Artikel Profesor Riset BRIN dan Anggota THR Kemenag RI)

LPKAPNEWS, MEDAN - Tulisan ini kembali (lagi) menanggapi dan menjawab tulisan seorang pakar (di blog pribadinya) yang dalam tulisannya mengatasnamakan Profesor Riset Astronomi-Astrofisika BRIN dan Anggota Tim Hisab Rukyat Kementerian Agama RI. Artinya, dalam konteks ini poin dan substansi yang disampaikan oleh sang pakar merupakan representasi dua lembaga negara tersebut (BRIN dan Kementerian Agama RI).

Dari pilihan judul, yaitu “Peluncuran KHGT : Diawali dengan Perbedaan Muharram dan Diuji dengan Kebenaran Ilmiah Ramadhan 1447” tampak bahwa sang pakar kerap melihat dan menyorot sisi kekurangan KHGT yaitu pada potensi perbedaan yang mungkin dan akan terjadi serta potensi inkonsistensi penerapan metode KHGT itu sendiri. Tentu secara substansi hal ini normal dan wajar saja, sebab setiap konsep atau metode pasti memiliki kekurangan, terlebih setelah diterapkan dan diimplementasikan di lapangan. Sebuah pepatah Arab bijak mengatakan “idza tamma asy-syai’ bada’a naqshuhu” (jika sesuatu telah tampak sempurna maka akan tampaklah kekurangannya). Namun tanpa sadar catatan dan kritikan semacam ini juga sesungguhnya ada dan melekat pada kriteria apa saja tanpa terkecuali kriteria MABIMS 3-6.4 yang kerap dibela dan dipertahankan oleh sang pakar dengan segenap narasi dan apologinya. Semua praktisi rukyat dan pegiat ilmu falak (astronomi) di tanah air paham bahwa implementasi imkan rukyat 3-6.4 selama ini dipenuhi inkonsistensi dan paradoks dalam implementasinya, yang lagi-lagi dibela ‘mati-matian’ oleh sang pakar.

Hilal yang tidak terbukti dan tidak terverifikasi secara saintifik biasanya dipamungkas dan dilegitimasi dengan kaidah fikih “hukm al-hakim yarfa’ al-khilaf” (keputusan hakim mengangkat perbedaan), dan ditambah dengan membuat dan mengada-adakan terminologi baru yaitu ‘hilal syar’i’, sekali lagi ini adalah terminologi yang mengada-ada alias ‘ngawur’. Praktis dalam segenap narasi dan tulisan-tulisannya sang pakar tidak pernah memberi hormat dan apresiasi atas kehadiran KHGT sebagai sebuah pilihan ijtihad yang sah secara syariat dan legal secara konstitusi (dalam hal ini Undang-Undang Dasar 1945, pasal 29).

Tentu ini tidak bermakna sama sekali bahwa KHGT membutuhkan hormat dan apresiasi dari sang pakar, namun konteksnya adalah bahwa setiap pilihan ijtihad dan keputusan seharusnya dihargai dan dihormati tanpa kerap memunculkan sisi kekurangannya semata. Paling tidak memberi ruang dan kesempatan kepada KHGT untuk diterapkan sebagaimana ruang dan kesempatan yang sama diberikan terhadap kriteria MABIMS 3-6.4 dan bahkan kriteria lainnya. Karena itu secara pribadi penulis menyimpulkan sang pakar sesungguhnya tidak menginginkan kehadiran KHGT, sang pakar ingin agar Muhammadiyah meninggalkan KHGT dan beralih serta cukup mengikut patuh keputusan Pemerintah dengan konsep dan kriteria MABIMS 3-6.4 nya. Namun faktanya Muhammadiyah tak bergeming, persis pada 29 Zulhijah 1446 (25 Juni 2025) yang lalu Muhammadiyah telah melaunching KHGT. Karena itu penulis kembali menyarankan kepada sang pakar kiranya berjiwa besar terhadap pilihan dan keputusan Muhammadiyah.

Kembali ke artikel sang pakar, tampak sang pakar memberi dua catatan atas rencana launching KHGT. Dua catatan itu : (1) Perbedaan Awal Muharram 1447, dan (2) Ujian Kebenaran Ilmiah Ramadhan 1447. Pada catatan pertama sang pakar menyatakan sebagai berikut, “…dengan pemberlakuan KHGT, perbedaan akan makin sering terjadi di Indonesia. Pemerintah dan sebagian besar ormas Islam menggunakan kriteria baru MABIMS (Menteri-menteri Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura), hanya satu ormas yang menerapkan KHGT”. Narasi ini kembali menegaskan ketidak dewasaan dan ketidak fairan sang pakar dalam berbeda pendapat sekaligus dalam menerima adanya fakta perbedaan, seolah setiap dan semua yang berbeda dengan Pemerintah adalah sesuatu yang tidak boleh. Padahal sejak awal, sejak pemerintah menggunakan kriteria 2-3-8 hingga beralih menjadi 3-6.4 Muhammadiyah tidak pernah menerima kriteria itu, seharusnya pada titik ini sekali lagi sang pakar dapat memahami dan berjiwa besar.

Kini Muhammadiyah beralih kepada KHGT seharusnya sang pakar bisa menghormati keputusan organisatoris Muhammadiyah. Muhammadiyah tidak pernah terusik dengan perubahan 2-3-8 kepada 3-6.4, maka tatkala Muhammadiyah beralih dari Wujudul Hilal kepada KHGT seharusnya dihormati, bukan semata mengorkestrasi dan menarasi perbedaan-perbedaan dan sisi-sisi negatif yang ada. Sang pakar seharusnya dapat menempatkan
posisinya sebagai pakar yang sebenar-benar pakar yang ditunjuk negara mewakili BRIN dan Kemenag RI.

Adapun fakta perbedaan yang terjadi atau akan terjadi merupakan keniscayaan dan konsekuensi dari perbedaan metode dan kriteria yang ada. Kriteria MABIMS 3-6.4 dan KHGT jelas berbeda, selain berbeda kriteria, juga berbeda skop wilayah keberlakuannya.

MABIMS 3-6.4 skopnya lokal dan atau empat negara, sedangkan KHGT skopnya global alias seluruh dunia. Karena itu perbedaan akan pasti dan niscaya, karena itu pula sikap arif dan bijaksana diperlukan dalam menyikapi fenomena ini. Jika semata dan hanya memunculkan sisi-sisi negatif dari perbedaan yang ada maka ini bukan sikap dan porsi seorang pakar dan intelektual.

Adapun catatan kedua, sang pakar menyatakan sebagai berikut, “Kalau menurut KHGT 1 Ramadhan 1447 = 19 Februari 2026, artinya KHGT merujuk hasil Diyanet yang keliru. Artinya, kebenaran ilmiah diabaikan. Kalau menurut KHGT 1 Ramadhan 1447 = 18 Februari 2026, artinya KHGT versi Indonesia berbeda dengan versi Turki. Ini langkah awal yang mencederai niat untuk mempersatukan kalender hijriyah. Ini juga sekaligus menunjukkan dampak langsung tidak adanya otoritas tunggal KHGT”.

Pernyataan “hasil Diyanet yang keliru” menunjukkan ‘arogansi’ keilmuan. Setiap negara (dalam hal ini negara Turki) punya alasan dan pertimbangan menetapkan 1 Ramadan 1447 bertepatan 19 Pebruari 2026, adapun apa yang menjadi pertimbangan dan alasan pilihan itu tentu negara Turki yang mengetahui dan memahami. Karena itu penghakiman “keliru” atas sikap, keputusan, dan pilihan negara Turki sekali lagi menunjukkan cara pandang yang kurang arif-asertif. Sementara itu pernyataan “kebenaran ilmiah diabaikan”, lagi-lagi tanpa sadar pernyataan ini ibarat memercik air tersiram ke muka sendiri, yaitu bila dikaitkan dengan praktik rukyat dan implementasi kriteria MABIMS selama ini (mulai 2-3-8 hingga 3-6.4), yaitu jika disorot dalam perspektif keilmiahan dan kebenaran ilmiah an sich. Contoh terdekat, sama diketahui praktik rukyat dan dinamika hasil rukyat di Aceh yang baru saja berlalu secara pasti menunjukkan adanya problem ilmiah dalam praktik, keputusan, dan implementasinya, namun karena dilegitimasi dengan kebijakan otoritas (pemerintah), dipamungkas dengan kaidah fikih populer itu, lalu ditambah-tambah dengan terminologi ‘hilal syar’i’, maka persoalan dianggap selesai. Sebelumnya penulis sudah menyatakan bahwa secara keputusan persoalan dan keputusan ini telah selesai, namun secara saintifik sama sekali belum selesai alias ada problem dan paradoks keilmuan di dalamnya. Karena itu ada baiknya sang pakar selain mengkritisi “kebenaran ilmiah” KHGT, juga menganalisis dan mengintrospeksi “kebenaran ilmiah” praktik 3-6.4.

Setiap metode dan kriteria pasti memiliki kekurangan yang jika terus digali akan tampak sisi-sisi kelemahannya, yang tanpa terkecuali berlaku untuk KHGT dan kriteria MABIMS 3-6.4. Dalam hal ini penulis mengiginkan sang pakar berjiwa besar dan proporsional yaitu memberi kesempatan yang sama baik kepada KHGT dengan konsep-konteks globalnya, juga kepada MABIMS 3-6.4 dengan skop lokal-empat negaranya, untuk ditawarkan kepada umat. Sejatinya, kehadiran KHGT sama sekali tidak memaksa pihak lain, namun justru mengajak berpikir lebih jauh guna membangun peradaban yang lebih baik, yang tentunya membutuhkan proses dan waktu. Wallahu a’lam, (Sumber Infomu)