Oleh: Arwin Juli Rakhmadi Butar-Butar – Dosen FAI UMSU dan Kepala OIF UMSU
LPKAPNEWS.COM - Tulisan
ini kembali (lagi) merupakan respons dan tanggapan atas tulisan seorang pakar
(periset BRIN dan anggota THR Kemenag RI) yang kembali (lagi) mengkritisi KHGT.
Kali ini sang pakar menulis dengan judul “KHGT : Klaim Global dengan Otoritas
Lokal”. Seperti biasa, ada banyak kritik sang pakar yang tidak proporsioanal
dan cenderung sinis-tendensius, paling tidak dapat dilihat dari judul
tulisannya itu sendiri. Tampaknya sang pakar
belum dapat berdamai bahwa KHGT merupakan kalender global. Sang pakar belum dapat
memahami dan membedakan kalender global-lokal antara konsep dan
implementasinya. Sang pakarpun belum dapat berdamai bahwa KHGT tidak memerlukan
otoritas, prinsipnya ‘pokoknya’ kalender global apa saja jika tidak ada
otoritasnya maka itu bukan kalender global. Sang pakar tampak belum dapat
menerima perbedaan pandangan soal ini, sang pakar lupa, atau boleh jadi tidak
paham, bahwa ini sebenarnya diskursus fikih, bukan ketentuan yang bersifat
‘harga mati’.
Adapun
beberapa catatan atas tulisan sang pakar yang patut dijawab dan ditanggapi
sebagai berikut.
Pertama,
sang pakar menyatakan bahwa otoritas global yang dimaknai sebagai sebuah
lembaga bertaraf dunia merupkaan pemaknaan yang sempit, padahal dalam berbagai
kesempatan sang pakar kerap menempatkan OKI (Organisasi kerjasama Islam)
sebagai otoritas yang bisa diusulkan sebagai otoritas global. Notabenenya OKI
adalah lembaga dunia dan bertaraf dunia, apakah inisiasi OKI sebagai otoritas
global ini bermakna pemahaman yang sempit?
Kedua,
sang pakar memberi contoh bahwa Pemerintah (sesuai fatwa MUI) adalah otoritas,
menurutnya Pemerintah memenuhi semua makna otoritas, dan seterusnya. Lagi-lagi
konteksnya tidak aple to aple, isu utama yang diangkat dan dibicarakan adalah
kalender global, bukan lokal, namun sang pakar kerap memberi sampel dalam
konteks lokal, sekali lagi ini tidak aple to aple alias tidak nyambung.
Ketiga,
sang pakar kerap memberi contoh penerapan kriteria MABIMS 3-6.4
(yaitu kesepakatan 4 negara) sebagai contoh implementasi otoritas. Adalah
fakta bahwa 4 negara ini telah menandatangani kriteria 3-6.4, namun
kenyataannya dalam praktiknya 4 negara ini menerapkan dengan standar
masing-masing alias berdasarkan hasil rukyat atau hisab di negaranya
masing-masing, bukan merujuk kepada satu titik parameter yang sama dan
menjadi rujukan bersama. Kenyataannya tidak jarang antar 4 negara ini terjadi
perbedaan, lalu dimana dan bagaimana peran otoritas itu? Seharusnya 4 negara
ini jika sudah menyepakati satu kriteria bersama tentu tidak boleh terjadi
perbedaan karena telah disebut kesepakatan 4 negara yang tergabung dalam forum
MABIMS. Karena itu pemhaman otoritas untuk MABIMS (4 negara) yang dikembalikan
kepada negara masing-masing bukan makna dan representasi otoritas global,
bahkan regional, sebagaimana yang dimaksud dengan kalender global. Jika
otoritas itu berada di dan pada negara masing-masing maka itu sebenarnya
otoritas lokal, bukan otoritas 4 negara, apalagi regional, apalagi global.
Keempat,
terkait otoritas kalender masehi, sang pakar menyebutkan “International Earth
Rotation and Reference Systems Service (IERS)” adalah otoritas kalender masehi
saat ini. Pertanyaannya adalah IERS ini lembaga apa? Apakah lembaga antar
pemerintah (yang kerap diprasyaratkan oleh sang pakar)? Ataukah hanya lembaga
keilmuan? Faktanya IERS adalah lembaga keilmuan yang memang bertugas menetapkan
second leap (lompatan detik) agar kalender masehi tetap sesuai dengan rotasi
bumi yang melambat dan waktu matahari.
Namun
sekali lagi apakah porsi dan posisi lembaga ini layaknya sebuah otoritas
sebagaimana definisi otoritas dalam konteks kalender global? Jawabannya tentu
tidak. Seharusnya, dan sebenarnya, dalam konteks umat Kristen hari ini otoritas
otoritatif itu adalah Paus (Kepausan) yang dalam kepercayaan Kristen dianggap
sebagai wakil Kristus di bumi dan memiliki otoritas tertinggi, yang sekarang
dijabat oleh Paus Leo XIV (Robert Francis Prevost). Namun kenyataannya Paus
(Kepausan) ini tidak mengambil peran itu. Tentu bukan karena Paus atau Kepausan tidak memiliki otoritas, tapi lebih karena Kalender Masehi telah
mapan, kredibel, dan diterima seluruh umat Kristen dunia. Jadi konteksnya
adalah akurasi dan kompatibilitas kalendernya serta penerimaan negara-negara di
dunia, bukan pada ada dan siapa otoritasnya.
Kelima,
soal Otoritas Kalender Hijriah Global, sang pakar menyatakan otoritas sangat
perlu, dan kembali sang pakar menyatakan dalam konteks dunia hari ini otoritas
global yang bisa diusulkan adalah otoritas kolektif negara-negara Islam dalam
wadah OKI (Organisasi Kerjasama Islam). Catatannya adalah, seperti dinyatakan
sang pakar, bahwa OKI masih dalam konteks bisa diusulkan, artinya belum ada
langkah konkret menjadikan OKI sebagai otoritas, yang artinya kalender global
ideal versi sang pakar masih ‘angan-angan’ alias masih berbentuk teori dan
narasi belaka. Sama sekali belum diketahui apakah OKI bersedia menjadi otoritas
atau tidak? Lalu apa dan bagaimana regulasi yang akan diberlakukan otoritas
ini?
Lalu
kriteria (parameter) yang mana yang akan diberlakukan (apakah Rekomendasi
Jakarta 1438 H/2017 M yang hanya disepakati 5 negara itu?), dan sejumlah
pertanyaan-pertanyaan lainnya. Berbagai pertanyaan ini bukan bentuk pesimisme
namun lebih karena memang otoritas itu belum ada, yang karena itu sang pakar
diminta untuk merealisasikannya.
Keenam,
namun akhirnya sang pakar jujur bahwa hingga kini otoritas Kalender Hijriah
Global itu belum ada. Sang pakar menyatakan “Secara de facto, kalender hijriyah
global dan otoritasnya belum ada”. Namun patut dicatat, ini tentu dalam versi
dan konteks pemahaman sang pakar. Dalam konteks dunia hari ini kalender global
telah ada yaitu kalender putusan Turki 1437 H/2016 M (yang diadopsi menjadi
KHGT) dengan tanpa otoritas, yang sudah diterapkan negara Turki sendiri dan
komunitas muslim Eropa dan Amerika. Jika sang pakar berkeyakinan bahwa kalender
global mesti satu paket dengan otoritas maka kalender putusan Turki 1437 H/2016
M (atau KHGT) tentu bukan kalender global, tentu hak sang pakar berpendapat
demikian. Karena itu jika kalender global (versi
sang pakar) mesti satu paket dengan otoritas maka dipersilakan membuat dan
mengusulkan kalender global itu, sekali kalender global, dan tentu kalender itu
dapat terimplementasi, bukan semata teori dan narasi.
Ketujuh,
pernyataan dan pemahaman paradoks kembali dikemukakan sang pakar, yaitu dengan
membandingkan antara putusan Turki 1437 H/2016 M (atau KHGT) dengan Rekomendasi
Jakarta 2017 M, yang menyatakan “Keduanya belum bisa diimplementasikan secara
global karena belum ada otoritas global yang menetapkannya sebagai kalender
hijriyah global”. Ini pernyataan dan kesimpulan keliru sebab sekali lagi
putusan Turki 1437 H/2016 M sudah diimplementasikan oleh negara Turki sendiri,
oleh ECFR dan FCNA. Antara kalender putusan Turki 1437 H/2016 M dengan konsep
Rekomendasi Jakarta 1438 H/2017 M tentu berbeda, putusan Turki sudah
diterapkan, sudah jelas konsep dan parameternya, sudah jelas sifaf
global-tunggalnya, sedangkan Rekomendasi Jakarta 1438 H/2017 M hingga saat ini
masih berupa arsip yang tersimpan rapi.
Kedelapan,
sang pakar menyatakan: “Indonesia, melalui Kemenag, juga mengajukan ke OKI
untuk implementasi Rekomendasi Jakarta 2017 di negara-negara Muslim. Baik
usulan Turki maupun Indonesia sampai saat ini belum direspon oleh OKI”. Bahwa
Kemenag RI tengah mengajukan dan meminta ke OKI tentu sah-sah saja dan ditunggu
hasilnya. Namun putusan Turki 1437 H/2016 M (atau KHGT) sekali lagi tidak
memestikan otoritas OKI. Bahwa OKI diminta menghighligt itu lain hal, itu soal
teknis dan strategi implementasi agar lebih cepat diterima dunia, tapi
bukan bagian kemestian otoritas yang tanpanya kalender tidak ada dan tidak
dapat diberlakukan.
Kesembilan,
dalam artikel sebelumnya saya menanyakan bagaimaan jika OKI kehilangan
legitimasinya? Dalam tulisan ini sang pakar menjawab sederhana, “Tidak
masalah”. Otoritas bisa berganti ke otoritas global lainnya yang diakui”.
Kalendernya pun tetap berlaku sampai ada perubahan oleh otoritas pada suatu
masa”. Ini jawaban
sederhana dan tampak tanpa beban, namun dimaklumi karena memang hanya narasi
dan teori, tentu lain hal jika nanti sudah terjadi.
Kesepuluh,
sang pakar menyatakan “KHGT hanyalah klaim sepihak ormas Muhammadiyah. KHGT
bukanlah kalender global karena hanya berlaku di kalangan ormas Muhammadiyah.
Bahkan bukan juga di tingkat negara Indonesia, apalagi global”. Kembali ini
pernyataan sinis dan tendensius atas KHGT dan Muhammadiyah, yang memang sudah
melekat dalam diri sang pakar selama ini. KHGT secara pasti mengadopsi hasil
putusan Turki 1437 H/2016 M yang notabenenya global-tunggal, bagaimana mungkin
dinyatakan klaim sepihak? Prinsip, syarat, dan parameter KHGT juga mengkaver
dan menganut prinsip satu hari satu tanggal di seluruh dunia, bagaimana mungkin
dinyatakan bukan kalender global? Bahwa belum banyak yang menerima dan
mengikuti itu lain hal, namun yang pasti secara konsep dan implementasi KHGT
adalah kalender global. Sang pakar harus paham dan dapat membedakan antara
konsep kalender yang penerapannya global dengan konsep kalender yang
penerapannya lokal, ada perbedaan signifikan antara keduanya.
Kesebelas,
sanga pakar menyatakan “Tidak ada negara yang menerapkan KHGT dalam satu
kesepakatan global. Klaim bahwa Turki serta komunitas Muslim di Eropa dan
Amerika Utara menggunakan kriteria Turki 2016 tidak menunjukkan bahwa KHGT
berlaku global. Tetap saja itu kalender lokal. Otoritas Turki, Diyanet (Kemenag
Turki), menetapkan kalender hijriyah sebatas wilayah kekuasaan negaranya. Otoritas
kalender hijriyah di Eropa dan Amerika Utara adalah pimpinan komunitas Muslim
di wilayah tersebut. Merekalah yang membuat dan menetapkan kelender hijriyah di
wilayah mereka, khususnya awal Ramadhan, Syawal, dan Dzuhijjah”. Ini sekali
lagi nalar yang membingungkan. KHGT baru akan dilaunching di awal Muharam 1447
H, lalu sang pakar menyatakan “Tidak ada negara yang menerapkan KHGT dalam satu
kesepakatan global”.
Adapun
negara Turki, komunitas Muslim Eropa dan Amerika faktanya telah mengadopsi dan
menerapkan hasil putusan Turki 1437 H/2016 M, sementara Muhammadiyah dengan
KHGT nya baru akan mengikutinya. Secara internal, baik Turki, ECFR, maupun FCNA
tentu punya teknis masing-masing, namun poin pentingnya adalah mereka (termasuk
KHGT Muhammadiyah) menerapkan kalender dengan kriteria/parameter global yang
sama, yaitu hasil putusan Turki 1437 H/2016 M. Wallahu a’lam, (Redaksi)