LPKAPNEWS.COM, MAKASSAR — Di tengah dinamika pemikiran ulama masa lalu, Muhammadiyah menawarkan pendekatan yang seimbang dan moderat dalam memandang warisan mazhab. Berpijak pada prinsip wasatiyah (jalan tengah), Muhammadiyah menolak ekstremisme, baik yang menegasikan mazhab maupun yang mengultuskannya.

Pandangan di atas disampaikan Sekretaris Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah Muhamad Rofiq Muzakkir dalam Pelatihan Kader Tarjih Tingkat Nasional Batch 1 di Makassar pada Kamis (29/05).

Rofiq menerangkan bahwa pendekatan wasatiyah ini mencerminkan kearifan dalam menyapa warisan intelektual Islam (turas) tanpa terjebak pada dogmatisme, sekaligus membuka ruang untuk pembaruan yang relevan dengan zaman.

Rofiq menjelaskan bahwa terdapat dua kutub ekstrem dalam menyikapi mazhab. Kelompok pertama, yang diwakili tokoh seperti al-Albani dan al-Khajandi, mengusung anti-mazhabisme. Bagi mereka, mazhab fikih dianggap sebagai beban masa lalu, bahkan bid’ah, sehingga berijtihad cukup dengan kembali ke Al-Qur’an dan As-Sunnah. 

Di sisi lain, kelompok kedua, seperti yang diwakili Ramadan al-Buti, memandang kewajiban bermazhab sebagai satu-satunya jalan kebenaran. Menurut mereka, menyimpang dari mazhab klasik adalah akar kemunduran umat Islam.

Menurut Rofiq, Muhammadiyah menolak kedua ekstrem ini. Meskipun tidak terikat pada mazhab tertentu, Muhammadiyah tidak anti-mazhab. Sebaliknya, Persyarikatan sangat menghormati turas sebagai sumber inspirasi, sambil tetap membuka peluang untuk pembaharuan.

Begi Rofiq, prinsip wasatiyyah Muhammadiyah dalam memandang turas ini terwujud dalam empat pilar. Pertama, tidak mewajibkan bermazhab, sehingga memberikan kebebasan berpikir tanpa terbelenggu oleh satu mazhab.

Kedua, tidak mengabaikan turas atau anti-mazhab, melainkan menjadikannya sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan sikap.

Ketiga, jika terdapat kesepakatan (ijma’) dalam turas terkait suatu isu, hal ini menjadi lampu kuning untuk berhati-hati mengambil pendapat baru.

Keempat, peluang untuk menghasilkan pendapat baru tetap terbuka, sepanjang sesuai dengan prinsip usul fikih, terutama terkait perubahan hukum yang relevan dengan konteks zaman.

Menurut Rofiq, aplikasi prinsip wasatiyyah ini terlihat jelas dalam putusan dan fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah.

Pertama, ada putusan yang sejalan dengan pendapat jumhur mazhab fikih.

Contohnya, Putusan Munas Tarjih 2024 tentang Kalender Hijriah Global Tunggal (KHGT) yang berpijak pada konsep ittihad al-mathali. Menurut mazhab Hanafi, Maliki, Hanbali, dan salah satu riwayat dari mazhab Syafi’i, keberagaman matlak (titik pengamatan hilal) tidak dipertimbangkan dalam menetapkan awal Ramadan. Seluruh umat Islam diwajibkan berpuasa ketika hilal terlihat di mana pun di dunia, sebagaimana sabda Nabi: “Mulai berpuasalah kamu dengan melihat hilal.” Pendapat ini mencerminkan keselarasan Muhammadiyah dengan turas, sekaligus menegaskan universalitas ajaran Islam.

Kedua, ada fatwa Tarjih yang keluar dari pendapat empat mazhab, namun tetap berpijak pada turas yang lebih luas.

Misalnya, fatwa tentang ibu hamil atau menyusui yang tidak berpuasa. Dalam tradisi mazhab, Hanafi mewajibkan qadha, Hanbali dan Syafi’i mewajibkan qadha sekaligus fidyah, sedangkan Ibn Hazm berpendapat tidak ada kewajiban qadha maupun fidyah. Namun, Tarjih Muhammadiyah memilih pendapat sahabat Ibnu Abbas dan Ibnu Umar yang hanya mewajibkan fidyah. Pilihan ini menunjukkan fleksibilitas Muhammadiyah dalam memilih pandangan yang dianggap lebih sesuai dengan zaman.

Ketiga, ada fatwa Tarjih yang benar-benar baru dan tidak mengambil pendapat dari mazhab klasik.

Contohnya, fatwa Tarjih Muhammadiyah tentang talak di luar persidangan. Dalam tradisi mazhab, talak dianggap sah hanya dengan ucapan suami. Namun, Tarjih Muhammadiyah menetapkan bahwa talak baru berlaku setelah diputuskan melalui mekanisme pengadilan. Fatwa ini mencerminkan pembaruan yang berani, menyesuaikan hukum dengan kebutuhan perlindungan sosial di era modern, tanpa mengabaikan prinsip-prinsip syariah.

Melalui pendekatan wasatiyyah, Muhammadiyah menunjukkan bahwa warisan intelektual Islam bukanlah belenggu, melainkan sumber inspirasi yang dinamis. Dengan menghormati turas sekaligus membuka ruang untuk ijtihad, Muhammadiyah menawarkan model berpikir yang relevan, moderat, dan visioner., (Ilham)