foto KH Ahmad Dahlan

LPKPANEWS.COM, KARIMUN - KH Ahmad Dahlan lahir di Yogyakarta pada tahun 1868. Ia adalah sosok istimewa dalam sejarah bangsa. Beliau bukan sekadar figur ulama. Ia juga seorang pendidik dan pembaharu dengan visi luas. Beliau prihatin melihat banyak praktik yang dianggap kaku, tradisional, dan kurang sesuai perkembangan zaman.

Dari keprihatinan ini, lahirlah ‘mentalitas’ khas dalam diri KH. Ahmad Dahlan. Mentalitas ini tidak hanya berkutat pada gagasan filosofis. Sebaliknya, ia sangat menekankan tindakan nyata dan solusi yang bisa dipraktikkan. Amal Usaha Muhammadiyah, khususnya di bidang pendidikan dan keagamaan, adalah wujud nyata dari pemikirannya.

Dalam mentalitas beliau, terkandung dimensi profetik. Dimensi kenabian. Seorang nabi disiapkan secara luar biasa untuk membawa pesan visioner. Tujuannya membangun umat agar sejahtera lahir batin, baik sebagai individu maupun anggota masyarakat.

Mentalitas Dahlan mencerminkan hal ini. Ia tidak sekadar menjelaskan fenomena sosial. Ia mengarahkan perubahan menuju cita-cita etis dan profetik yang diinginkan. Cita-cita ini berlandaskan humanisasi, liberasi, dan transendensi. 

Humanisasi, dalam tafsir kreatif amar ma’ruf, berarti memanusiakan manusia. Ini bertujuan melepaskan mereka dari belenggu materialitas, ketergantungan, kekerasan, dan kebencian. Beliau menganut humanisme teosentris, yang berpusat pada Tuhan demi kepentingan manusia.

Dalam pendidikan, humanisasi ini sangat jelas terlihat. KH. Ahmad Dahlan ingin meningkatkan kualitas hidup manusia melalui pendidikan. Beliau mengadopsi sistem sekolah Belanda. Namun, materinya tetap berpegang teguh pada keislaman. Beliau yakin, kepercayaan diri umat dan rasa tidak inferior terhadap penjajah bisa dibangun lewat pendidikan ini. Melihat Muslim perkotaan seperti di Kauman berpotensi termarjinalkan tanpa pendidikan ala Belanda, beliau bertindak.

Ini menunjukkan pemikiran dan perasaan profetiknya. Muslim harus dimanusiakan, ditingkatkan kualitas hidup dan mentalnya. Agar kelak mereka sadar penjajahan bertentangan dengan kebenaran dan nilai kemanusiaan. Ini humanisasi profetik melalui pendidikan. Mendirikan Muhammadiyah juga bentuk humanisme teosentris, demi kepentingan umat.

Dimensi kedua adalah liberasi, tafsir kreatif dari nahi munkar. Ini relevan dengan prinsip sosialisme, tapi dalam ilmu profetik berdasar transendental. Tujuannya membebaskan manusia dari kekejaman kemiskinan dan eksploitasi. Juga dari dominasi struktural dan kesadaran palsu. Liberasi dalam ilmu profetik mencari bantuan dari nilai transendental agama.

===== MASUKAN KODE IKLAN DISINI =====

Pemberantasan kemiskinan jadi fokus penting. Beliau percaya nafsu dunia merendahkan Muslim. Maka, beliau selalu anjurkan sedekah harta di jalan Allah, merujuk Surat Al-Ma’un. Liberasi dari hegemoni penjajahan juga bagian mentalitas ini. Di tengah penjajahan Belanda, beliau menunjukkan karakter kenabian yang responsif.

Langkahnya mungkin berbeda dengan KH. Hasyim Asy’ari. Dahlan lebih akomodatif, Hasyim lebih resisten. Namun, keduanya tidak menyimpang dari nilai Islam dan dibutuhkan saat itu. Dahlan bergabung dengan gerakan nasional dan mengajar di sekolah Belanda. Ini langkah akomodatifnya. Tujuannya menyiapkan orang-orang yang peduli masalah sosial-politik. Ia menyiapkan umat agar di masa depan sadar penderitaan akibat kolonialisme dan mencari solusi.

Ketiga, dimensi transendensi, makna kreatif dari billah. Ini terkait keimanan pada Allah SWT dan nilai spiritual. Keyakinan transendental jadi bagian penting pembangunan peradaban. Bagi Muslim, ini berarti beriman kepada Allah SWT sebagai pemegang otoritas. Transendensi membedakan ilmu sosial profetik dengan yang lain.

Dalam kehidupan ilmiah, ini termanifestasi dalam pemahaman. Apa yang diyakini dan dicintai adalah Allah SWT. Interpretasi keagamaan terwujud dalam praktik ibadah dan aktivitas ilmiah sehari-hari. Niat utamanya adalah mengagungkan Sang Pemberi Ilmu.

Dimensi transendensi ini berakar pada keimanan, ketakwaan, dan interpretasi. Dahlan mempraktikkan keimanan dengan memurnikan agama. Beliau melawan praktik yang membuat ketergantungan bergeser dari Allah. Beliau sadar sulitnya menentang kebiasaan turun-temurun. Namun, beliau tetap melakukannya.

Ketakwaan baginya bukan hanya ibadah formal. Ia berdasar keyakinan pada dasar ilmu. Tindakan meluruskan kiblat Masjid Agung Kauman contoh nyatanya. Ini ketakwaan yang dibarengi pendekatan ilmiah (astronomi). Beliau juga menggunakan musyawarah, menunjukkan metode pendidikan Islam berbasis diskusi.

Interpretasi, sebagai pusat transendensi, bagi Dahlan terwujud dalam praktik keagamaan. Beliau definisikan orang beragama adalah orang yang berpraktik. Metode belajar Al-Qur’annya khas. Baca beberapa ayat, pahami maknanya, lalu langsung praktikkan perintahnya dan tinggalkan larangannya. Baru setelah itu lanjut ke ayat berikutnya. Ini mentalitas yang sangat menekankan implementasi ajaran agama.

Mentalitas profetik KH. Ahmad Dahlan menjadikannya ulama yang luar biasa. Beliau mampu memanusiakan manusia, membebaskan, dan membawa mereka ke jalan Allah. Beliau punya keseimbangan antara isi fisik dan spiritual. Antara ilmu murni dan terapan, teori dan praktik. Serta nilai akidah, syariah, dan akhlak.

Keberhasilannya membimbing umat di masa sulit menunjukkan kemampuan interpretasi situasi. Ini berdasar niat tulus, ilmu luas, dan berpikir cerdas. Mentalitas ini adalah landasan misi kekhalifahan di muka bumi Allah.

Singkatnya, “Mentalitas Dahlan” adalah paduan unik. Ia gabungkan visi pembaharu dan kepedulian umat. Pendekatannya praktis-solutif melalui pendidikan. Ia wujudkan nilai profetik: humanisasi, liberasi, transendensi. Beliau terbuka pada modernitas tapi kokoh pada prinsip Islam. Ada keberanian menantang status quo demi kemajuan dan pemurnian agama.

Semua berakar kuat pada iman dan takwa kepada Allah. Mentalitas inilah yang mendorong berdirinya Muhammadiyah. Dan menjadikannya kekuatan transformatif dalam pendidikan dan masyarakat Indonesia hingga kini, (Redaksi)