LPKAPNEWS.COM, PAPUA — Di sebuah pagi yang cerah di
SD Niwerarar, Distrik Pantai Barat, Kabupaten Sarmi, Papua, senyum sumringah
menghiasi wajah-wavah kecil para siswa. Paket sembako yang diserahkan oleh
Ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Sarmi, Ahmadi Manuri, merupakan sebuah
simbol nyata.
“Ini bentuk kepedulian kami kepada masyarakat, terutama
anak-anak,” ujar Ahmadi. Pernyataan mempertegas bahwa dalam rangkaian usia yang
ke-113, denyut nadi Muhammadiyah masih tetap kencang hingga ke pelosok timur
Nusantara.
Bagi warga setempat, sentuhan kecil itu cukup menjadi
penguat bahwa mereka tidak sendirian. Sarmi, yang secara geografis jauh dari
pusat aktivitas nasional, tetap dirangkul sebagai bagian penting dari tubuh
besar Muhammadiyah.
Karena itu pula, malam harinya pengajian Milad di Masjid
An-Nur Kelapa Satu menjadi agenda utama—momen spiritual untuk mempertegas
keberadaan gerakan pencerahan di Tanah Papua.
Bagi Ahmadi, usia 113 tahun merupakan simbol keteguhan
gerakan. Ia menegaskan bahwa kehadiran Muhammadiyah sejak tahun 1926 di Papua
telah mewariskan peran besar: dari pendidikan hingga kepedulian sosial. Di
tanah multikultural itu, Muhammadiyah tampil sebagai “mitra kemanusiaan yang
menebar pencerahan dan menyemai peradaban.”
Peristiwa sederhana di Sarmi pada Selasa, 18 November
2025 itu adalah satu dari sekian banyak mozaik kegiatan yang menandai Milad
Muhammadiyah di wilayah Indonesia Timur. Di ufuk timur Indonesia, di mana laut
dan gunung bersanding dalam diam yang megah, gema Milad ke-113 Muhammadiyah
tahun 2025 mengalun dengan warna yang khas: sederhana, merakyat, dan penuh
keteguhan pengabdian.
Tidak ada gegap gempita panggung besar, tetapi
langkah-langkah kecil yang membentuk jejak panjang pelayanan di Tanah Papua,
Kepulauan Maluku, hingga Sulawesi. Di setiap wilayah, Milad ini menjadi cermin
bagaimana Muhammadiyah tumbuh sebagai denyut sosial yang hidup bersama
masyarakatnya.
Di Kendari, Sulawesi Tenggara, Milad ke-113 memperoleh
warna berbeda. Majelis Lingkungan Hidup (MLH) Pimpinan Pusat Muhammadiyah
memilih momen ini untuk meluncurkan Green Mining Watch (GMW), lembaga yang
mengawasi praktik pertambangan dan mendorong keadilan ekologis.
Langkah ini mencerminkan arah baru Muhammadiyah yang
semakin lantang menyuarakan isu lingkungan hidup, khususnya di kawasan timur
yang kaya sumber daya alam tetapi rentan eksploitasi.
Buya Anwar Abbas, Ketua PP Muhammadiyah yang membidangi
lingkungan, menegaskan bahwa pembentukan GMW merupakan bukti keseriusan
organisasi dalam menjaga keseimbangan alam. Ia mengingatkan bahwa manusia tidak
boleh serakah mengeruk kekayaan bumi. “Apa pun langkah kita harus sesuai sabda
Rasulullah dan Al-Qur’an,” ujarnya.
Dari kampus Universitas Muhammadiyah Kendari hingga
Universitas Halu Oleo, kegiatan pelatihan kader lingkungan, penanaman pohon,
dan sesi advokasi berlangsung selama tiga hari. Lebih dari seratus peserta dari
IMM, IPM, NA, PWM, Aisyiyah, hingga pemerintah daerah turut serta.
Azrul Tanjung, Ketua MLH PP Muhammadiyah, menambahkan
bahwa green mining harus berpijak pada dua pendekatan: membangun keberlanjutan
nabati dan meminimalisir dampak negatif pertambangan. Ia percaya, dengan sumber
daya intelektual yang kuat, Muhammadiyah mampu menjadi contoh bahwa
pertambangan dapat dilakukan tanpa merusak ekologis.
Energi positif itu berpadu dengan harapan Jihadul
Mubarrok, sekretaris MLH PP Muhammadiyah, yang ingin menjadikan GMW sebagai
pusat kolaborasi antara aktivis, akademisi, dan pemerintah dalam advokasi
lingkungan.
Dari Kendari, perjalanan Milad bergeser ke jantung Kota
Makassar, di mana Pondok Pesantren Muhammadiyah Boarding School (MBS) Awwalul
Islam menggelar khitanan massal. Suara tawa, tangis kecil, dan semangat para
relawan bercampur menjadi satu. Sebanyak 74 anak dari tiga kelurahan—Parangloe,
Bira, dan Untia—mengikuti kegiatan ini.
Ada yang datang dengan percaya diri, ada pula yang
mengurungkan niat karena takut meski sudah mendaftar. “Tujuannya membantu warga
sekitar, terutama yang kurang mampu,” jelas Kiai Sudirman, Direktur MBS Awwalul
Islam.
Momentum ini menjadi agenda sosial sekaligus sarana
memperkenalkan MBS kepada warga sekitar. Syamsir Dewang dari PDM Makassar
mengaku bangga atas kedekatan lembaga pendidikan ini dengan masyarakat. “Kami
berharap MBS semakin diminati,” ujarnya.
Di ruang sederhana itu, hadir pula dokter, relawan, dan
pimpinan lembaga kesehatan Muhammadiyah. Para peserta pulang dengan sarung dan
uang transportasi, tetapi yang lebih penting, mereka pulang dengan pengalaman
manis tentang kepedulian.
Sementara di Sulawesi Utara, latar aktivitas Milad
memperlihatkan wajah kerukunan yang khas daerah itu. Wakil Gubernur Sulut,
Victor Mailangkay, menyatakan dukungan penuh pemerintah untuk resepsi Milad
yang akan digelar akhir November.
Ia memuji kontribusi Muhammadiyah di dunia pendidikan dan
menegaskan bahwa ormas ini telah ikut menjaga keharmonisan di bumi Nyiur
Melambai. “Terima kasih Muhammadiyah telah ikut membentengi Sulut agar tetap
aman dan nyaman,” ucapnya dengan senyum hangat.
Dari Manado yang plural, narasi Milad melangkah ke
Halmahera Timur. Di kota Maba dan Subaim, pawai ta’aruf digelar serentak.
Ratusan peserta dari berbagai jenjang pendidikan hingga simpatisan masyarakat
berjalan rapi menyusuri jalur sejauh 5–6 kilometer. Di tengah terik yang
menyengat, barisan anak-anak kecil berjalan beriringan dengan para guru dan
kader muda Muhammadiyah. Di setiap langkah tampak kebanggaan kolektif sebagai
bagian dari persyarikatan.
Ketua PDM Haltim, Ali Muhaidhori, menegaskan bahwa Milad
adalah momentum memperteguh komitmen berbangsa. “Muhammadiyah lahir sebelum
Indonesia merdeka dan telah memberi kontribusi di bidang pendidikan, kesehatan,
dan pembentukan karakter,” katanya. Ketua panitia, Ngadiman, menambahkan bahwa
pawai ini merupakan pendidikan karakter bagi generasi muda—pelajaran tentang
disiplin, tampil percaya diri, dan cinta terhadap gerakan berkemajuan.
Di Manokwari, Papua Barat, Milad dirayakan melalui
pendekatan kultural: bedah film Sang Pencerah. Mahasiswa dari berbagai
latar belakang—87 persen di antaranya nonmuslim—memadati ruangan untuk menyimak
kisah KH Ahmad Dahlan. Bagi Ketua PDM Manokwari, Imam Muslih, film itu
merupakan gambaran bahwa setiap tokoh besar selalu diuji oleh tantangan. Mahasiswa
diajak mengambil nilai keberanian dan kecerdasan intelektual yang diwariskan
sang pendiri Muhammadiyah.
Hingga akhirnya, di Jayapura, apel Milad oleh UMP dan PDM
Kota Jayapura menutup rangkaian jejak di wilayah timur. Di halaman SMA
Muhammadiyah Jayapura, Achmad Yunaidi dari PWM Papua berdiri sebagai pembina
upacara.
Dengan suara mantap ia berkata, “Di Papua, Muhammadiyah
menjadi mitra kemanusiaan.” Sejak 1926, organisasi ini membangun pendidikan,
layanan kesehatan, hingga program pemberdayaan.
Dalam penghayatan tema “Memajukan Kesejahteraan Bangsa,”
Yunaidi mengajak seluruh kader memperkuat kolaborasi dengan tokoh adat,
pemerintah, dan masyarakat setempat. “InsyaAllah Muhammadiyah akan terus
menjadi mata air kebaikan,” tuturnya.
Dan begitulah, dari pantai Sarmi hingga kampus Kendari,
dari pawai Haltim hingga ruang bedah film di Manokwari, Milad ke-113
Muhammadiyah di wilayah timur menghadirkan mosaik tentang sebuah gerakan besar
yang bekerja dalam senyap.
Tidak selalu disorot publik, namun selalu hadir dalam
denyut kehidupan masyarakat—menyulam cahaya pencerahan yang merawat harapan
Indonesia dari ufuk yang paling awal melihat matahari terbit.
Sumber, Muhammadiyah or id
