LPKAPNEWS.COM - Bagi kamu yang lahir di era serba-digital, milenial, Gen-Z, bahkan Gen-Alpha, mungkin sulit membayangkan Indonesia pernah berada dalam satu babak sejarah yang super-sentralistik. Segala urusan, dari politik sampai organisasi, dikendalikan dari satu titik: pusat. Satu komando. Kalau hari ini negara ramai dengan wacana check and balance, dulu yang ada hanya check, tanpa balance.
Itulah era Orde Baru. Era ketika negara dipimpin Soeharto, presiden yang sangat kuat, sangat lama, dan belakangan mendapat gelar pahlawan nasional. Di masa itulah muncul satu kebijakan penting (dan menegangkan): azas tunggal Pancasila. Semua organisasi, politik, sosial, keagamaan, harus menjadikan Pancasila sebagai azas. Yang menolak? Siap-siap dianggap membangkang kepada negara. Bisa saja tiba-tiba ditangkap dan dipenjara.
Nah, ini problem. Muhammadiyah, gerakan Islam pembaru yang sejak awal fondasinya jelas: Qur’an dan Hadis, dituntut memakai Pancasila sebagai asas organisasi. “Lho, kok pakai Pancasila?” begitu kira-kira gumam sebagian kader. Perdebatan pun memanas. Yang pro ada, yang kontra lebih banyak suara. Situasinya mirip grup WA keluarga saat membahas politik.
Di tengah suasana panas itulah tampil satu sosok yang hari ini banyak dikenang sebagai figur sejuk: Pak AR Fachruddin, Ketua PP Muhammadiyah kala itu. Seorang kiai yang pembawaannya lembut, logikanya tajam, humornya halus, dan strategi komunikasinya, jujur saja, level jurus pamungkas.
Mencari Jalan Tengah di Tengah Orde Baru
Pak AR bukan tipe orang yang asal mengiyakan. Dalam catatan Sukriyanto AR, Pak AR pernah bilang:
"Pokoknya saya tidak mau menjilat. Kalau pemerintah salah, ya harus kita ingatkan. Caranya langsung bertemu, bicara baik-baik. Tidak perlu demonstrasi.”
Sikap kritis tapi santun ini penting. Sebab saat Soeharto berpidato lewat radio, menegaskan bahwa semua kekuatan sosial politik harus menerima Pancasila sebagai azas tunggal, pengurus Muhammadiyah langsung gelisah. Mereka rapat. Berdebat. Riuh. Akhirnya diputuskan satu hal: untuk sementara diam. Bukan menyerah, tapi menahan diri. Menunggu penjelasan yang lebih terang, karena tidak semua hal perlu diselesaikan dengan teriak-teriak.
Beberapa waktu kemudian, lahirlah penjelasan penting. Dalam pidato pelantikan DPR/MPR 1983, Soeharto bilang bahwa asas Pancasila itu konteksnya bernegara, bermasyarakat, dan berpolitik, bukan agama. Inilah celah yang bisa dipahami Muhammadiyah.
Pak AR kemudian menemui Menteri Agama Munawir Sjadzali. Dari beliau, penjelasannya semakin gamblang: Pancasila adalah urusan hablun minannas, relasi sosial dan kenegaraan. Islam tetap saja menjadi pedoman aqidah dan ibadah.
Penjelasan itu membuat suasana sedikit tenang, walau di internal Muhammadiyah masih banyak yang keberatan. Bahkan sangat keberatan. Dan bahkan super-panas.
Saat Pak AR Sowan ke Soeharto
Tibalah momen penting: Muhammadiyah hendak menyelenggarakan Muktamar di Solo. Tradisinya, Presiden diminta membuka acara. Maka Pak AR sowan ke Soeharto. Momen yang oleh banyak orang dibayangkan penuh ketegangan. Dan benar, Soeharto menyanggupi hadir… asal Muhammadiyah menerima Pancasila sebagai asas tunggal.
Di titik inilah kecerdasan Pak AR bermain. Beliau tidak membantah frontal. Tidak juga langsung setuju. Tapi memberikan perumpamaan yang… yah, jujur saja, khas Pak AR: logis, sederhana, tapi mematikan.
Kira-kira begini kata beliau:
"Begini, Pak. Kalau saya naik motor menuju masjid, lalu lewat jalur yang mewajibkan helm, ya saya pakai helm. Tapi begitu sampai masjid, helm saya lepas. Masa shalat kok pakai helm? Nah, Pancasila itu seperti helm di jalur helm itu.”
Soeharto konon hanya tersenyum sambil manggut-manggut. Situasi yang awalnya tegang berubah cair. Lumer. Adem. Pembicaraan pun berlanjut tanpa ketus.
Tidak heran kemudian banyak penulis menyebut Pak AR sebagai “penyelamat Pancasila” bukan karena beliau mengubah Pancasila, tapi karena beliau mengubah cara memahami Pancasila dalam relasinya dengan agama. Muhammadiyah akhirnya menerima asas Pancasila untuk urusan sosial-kenegaraan, tanpa menempatkannya “di atas Islam”. Beberapa orang keluar dari Muhammadiyah karena tidak sepakat, tapi organisasi tetap berjalan dan tidak pecah.
Harmoni yang Dijaga, Bukan Diserahkan
Setelah itu, hubungan Muhammadiyah dan negara menjadi lebih tenang. Muktamar akhirnya bisa dilaksanakan tahun 1985, setelah tertunda empat tahun. NU bahkan sudah lebih dulu menerima asas tunggal. Dinamika Islam-negara yang sempat panas kembali stabil.
Pak AR tidak lama kemudian mulai sakit dan jarang berkantor, tetapi warisannya tetap terasa: kebijaksanaan dalam menjaga harmoni. Yakni kemampuan untuk tetap kritis tanpa kasar, tetap taat tanpa tunduk, tetap tegas tanpa keras.
Sampai hari ini, cerita tentang “helm dan jalur helm” itu sering dikutip di mana-mana. Ia menjadi simbol cara beragama dan bernegara yang dewasa:
Tidak reaksioner. Tidak meledak-ledak. Tidak gampang menuduh sesat atau kafir.
Ibarat memakai helm, kita sadar bahwa aturan publik memang perlu, tapi ia tidak mengganti identitas iman seseorang.
Dan mungkin, justru itulah pelajaran paling penting dari Pak AR: Bahwa menjaga Indonesia butuh kepala dingin, bukan dada panas. Butuh dialog, bukan tudingan. Dan kadang, cukup pakai helm saat perlu, lalu lepas ketika waktunya ibadah.
Allahu a'lam.
(Redaksi)
