Deretan Istri dan Anak Nabi Saw | Serial Sirah Nabawi 14

LPKAPNEWS - Saat berusia 25 tahun, Nabi Muhammad Saw menikah dengan Khadijah yang berusia 28 tahun. Mereka hidup dalam monogami selama 25 tahun. Dalam dekapan rumah tangga itu, Muhammad menemukan keteduhan dan ketenangan batin. Namun ketika Khadijah wafat, sunyi kembali menyergap.

Dalam Islam, monogami tetap menjadi bentuk pernikahan yang ideal. Poligami hanya diperbolehkan dengan syarat ketat, yaitu mampu berlaku adil. Nabi Saw sendiri hidup dalam monogami selama seperempat abad bersama Khadijah, dan baru menikah lagi setelah ia wafat. Hal ini menunjukkan bahwa poligami bukanlah bentuk ideal dalam pernikahan.

Setelah kepergian Khadijah, Muhammad menikah lagi dengan sepuluh perempuan lainnya. Secara kronologis, mereka adalah Saudah binti Zam’ah, Aisyah binti Abu Bakar, Hafshah binti Umar, Zainab binti Khuzaymah, Ummu Salamah (Hind), Juwayriyah binti Harits, Zainab binti Jahsy, Ummu Habibah binti Abu Sufyan, Maimunah binti Harits, dan Shafiyyah binti Huyayy.

Setiap pernikahan memiliki konteks dan tujuan yang berbeda. Sebagian menyatukan suku-suku yang sebelumnya bermusuhan, sebagian lain memberikan perlindungan bagi janda-janda korban perang, dan ada pula yang menjadi ruang belajar bagi perempuan-perempuan cerdas yang kemudian menjadi sumber ilmu bagi umat.

Bayangkan jika Nabi Saw tidak menikahi mereka. Sejarah mungkin akan berjalan dengan arah yang sama sekali berbeda. Tiga konsekuensi besar akan terjadi pada masa awal Islam, yang dampaknya bisa terasa hingga hari ini.

Pertama, pernikahan Nabi Saw adalah strategi sosial yang membentuk peta politik Arab. Dengan menikahi Shafiyyah binti Huyayy dari Bani Nadhir dan Juwayriyah binti Harits dari Bani Musthaliq, dua suku yang dulu memusuhi Islam berubah menjadi bagian dari keluarga Rasul. Tanpa ikatan kekerabatan ini, bara dendam antar suku bisa terus menyala. Hal ini akan menguras energi umat yang baru lahir.

Kedua, sebagian besar istri Nabi Saw adalah janda perang. Dalam masyarakat patriarkal Arab, janda kerap kehilangan tempat dan martabat. Dengan menikahi mereka, Nabi mengubah luka sosial menjadi solidaritas. Nabi Saw mengajarkan bahwa tanggung jawab terhadap korban dan yang lemah adalah tugas bersama, bukan belas kasihan sesaat. Tanpa langkah ini, Islam mungkin kehilangan wajah kemanusiaannya yang paling lembut.

Ketiga, peran istri-istri Nabi Saw sangat krusial sebagai sumber utama transmisi ilmu yang berkaitan dengan ranah privat kehidupan Rasulullah. Dari mereka, kita jadi tahu tata cara mandi wajib hingga etika dalam hubungan suami-istri. Para istri utama seperti Aisyah dan Ummu Salamah bertindak sebagai guru besar yang meriwayatkan ribuan hadis. Tanpa kontribusi unik dari mereka, pengetahuan mendalam tentang fikih perempuan, etika rumah tangga, dan dimensi kemanusiaan Nabi akan hilang secara permanen.

Dengan demikian, pilihan Nabi Muhammad Saw untuk berpoligami bukanlah cerminan ambisi pribadi. Monogami adalah idealitas personal yang beliau buktikan selama 25 tahun; tetapi poligami beliau adalah kebutuhan historis yang mutlak demi kelangsungan dan kesempurnaan ajaran Islam.

Namun, jangan buru-buru menafsirkan langkah Nabi sebagai lisensi untuk kamu menambah istri sesuka hati. Kamu tidak sedang hidup di abad ke-7 dengan beban risalah di pundakmu, jadi jangan samakan dirimu dengan Nabi Saw yang memikul misi peradaban. Poligami beliau terikat pada misi kenabian dan tanggung jawab sosial yang melampaui kepentingan pribadi.

Selain sebagai suami dari beberapa istri, Nabi Saw juga seorang ayah. Nabi Saw memiliki tujuh anak yaitu Qasim, Zainab, Ruqayyah, Ummu Kultsum, Fatimah, Abdullah, dan Ibrahim. Sebagian riwayat menyebut dua nama lain, Thahir dan Thayyib, yang kemungkinan hanyalah sebutan lain bagi Abdullah. Nabi Saw sangat mencintai putra-putrinya ini.

Keadaan paling menyakitkan bagi manusia adalah kehilangan orang yang dicintai, entah seorang anak yang kehilangan orang tuanya atau orang tua yang kehilangan anaknya. Muhammad merasakan keduanya. Tumbuh sebagai yatim, kehilangan ayah sebelum lahir, lalu ibunya saat masih kecil. Tak lama kemudian, kakek yang mengasuhnya juga meninggal. Luka demi luka menempa dirinya sejak dini. 

Namun rasa kehilangan itu belum berakhir. Ketika Nabi Saw telah menjadi seorang ayah, satu per satu anaknya wafat lebih dulu darinya. Hanya Fatimah yang sempat menyaksikan ayahnya meninggal. Bagi siapa pun, kehilangan satu anak saja sudah cukup membuat dunia runtuh. Bagaimana dengan Nabi Muhammad yang harus menguburkan enam orang anak kandungnya.

Belum cukup sampai di situ. Di tengah luka yang bertumpuk, Abu Jahl berlari di jalan-jalan Mekkah sambil berteriak bahwa Muhammad telah terputus keturunannya. Dalam budaya Arab pra-Islam, keturunan laki-laki adalah simbol kehormatan dan penerus nama keluarga. Betapa pedih ejekan itu, datang tepat di saat hatinya sedang hancur.

Bayangkan jika kamu berada di posisinya. Sudah kehilangan orang-orang yang dicintai, masih harus menanggung hinaan dari mereka yang membenci. Mungkin kamu tidak akan kuat. Mungkin kamu akan berhenti. Tetapi Muhammad tetap berjalan. Nabi Saw tidak membalas dengan kemarahan, melainkan dengan kesabaran dan keimanan.

Di saat seperti itulah, wahyu turun menenangkan hatinya. “Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu karunia yang berlimpah. Maka dirikanlah salat untuk Tuhanmu dan berkurbanlah. Sungguh, orang yang membencimu, dialah yang terputus.” (QS. Al-Kautsar: 1–3).

Ayat ini bukan sekadar hiburan, tetapi juga janji. Sejarah telah membuktikan kebenarannya. Nama Abu Jahl hanya menjadi simbol kebodohan dan kesombongan manusia. Namanya menjadi peringatan abadi bahwa kebencian kepada kebenaran tidak akan pernah menang melawan cahaya wahyu.

Sementara itu, pengikut Nabi Muhammad Saw justru menyebar ke seluruh dunia. Dalam waktu 100 tahun setelah beliau wafat, ajaran Islam telah meluas jauh dari tanah kelahirannya di Semenanjung Arab. Panji-panji Islam berkibar hingga ke Andalusia di barat, menyeberangi pegunungan Atlas di Afrika Utara, menembus lembah Indus di timur, bahkan mencapai jantung Persia dan Asia Tengah.

Pada abad ke-21, Islam menjadi agama dengan lebih dari 2.000.000.000 pemeluk. Di setiap benua, dari masjid kecil di desa terpencil hingga menara tinggi di kota metropolitan, nama Muhammad dilantunkan dalam azan dan doa. Setiap detik, ada yang bershalawat kepadanya di tempat yang berbeda di muka bumi.

Kamu adalah bagian dari mata rantai panjang itu. Mengenal Nabi berarti mengenal mereka yang ada di sisinya, yang berbagi duka dan cinta dalam perjalanan risalah. Dari Khadijah yang menenangkan hati Nabi di masa sulit, hingga Fatimah yang menjadi penyejuk di tahun-tahun terakhir hidup beliau.

Sebutlah nama-nama istri dan anak Nabi Muhammad Saw dengan penuh hormat. Hafalkan, kenali kisah mereka, dan biarkan keteladanan itu tumbuh dalam dirimu.

(Redaksi)