LPKAPNEWS - Saat berusia 25 tahun, Nabi Muhammad Saw
menikah dengan Khadijah yang berusia 28 tahun. Mereka hidup dalam monogami
selama 25 tahun. Dalam dekapan rumah tangga itu, Muhammad menemukan keteduhan
dan ketenangan batin. Namun ketika Khadijah wafat, sunyi kembali menyergap.
Dalam Islam, monogami tetap menjadi bentuk pernikahan
yang ideal. Poligami hanya diperbolehkan dengan syarat ketat, yaitu mampu
berlaku adil. Nabi Saw sendiri hidup dalam monogami selama seperempat abad
bersama Khadijah, dan baru menikah lagi setelah ia wafat. Hal ini menunjukkan
bahwa poligami bukanlah bentuk ideal dalam pernikahan.
Setelah kepergian Khadijah, Muhammad menikah lagi dengan
sepuluh perempuan lainnya. Secara kronologis, mereka adalah Saudah binti
Zam’ah, Aisyah binti Abu Bakar, Hafshah binti Umar, Zainab binti Khuzaymah,
Ummu Salamah (Hind), Juwayriyah binti Harits, Zainab binti Jahsy, Ummu Habibah
binti Abu Sufyan, Maimunah binti Harits, dan Shafiyyah binti Huyayy.
Setiap pernikahan memiliki konteks dan tujuan yang
berbeda. Sebagian menyatukan suku-suku yang sebelumnya bermusuhan, sebagian
lain memberikan perlindungan bagi janda-janda korban perang, dan ada pula yang
menjadi ruang belajar bagi perempuan-perempuan cerdas yang kemudian menjadi
sumber ilmu bagi umat.
Bayangkan jika Nabi Saw tidak menikahi mereka. Sejarah
mungkin akan berjalan dengan arah yang sama sekali berbeda. Tiga konsekuensi
besar akan terjadi pada masa awal Islam, yang dampaknya bisa terasa hingga hari
ini.
Pertama, pernikahan Nabi Saw adalah strategi sosial yang
membentuk peta politik Arab. Dengan menikahi Shafiyyah binti Huyayy dari Bani
Nadhir dan Juwayriyah binti Harits dari Bani Musthaliq, dua suku yang dulu
memusuhi Islam berubah menjadi bagian dari keluarga Rasul. Tanpa ikatan
kekerabatan ini, bara dendam antar suku bisa terus menyala. Hal ini akan
menguras energi umat yang baru lahir.
Kedua, sebagian besar istri Nabi Saw adalah janda perang.
Dalam masyarakat patriarkal Arab, janda kerap kehilangan tempat dan martabat.
Dengan menikahi mereka, Nabi mengubah luka sosial menjadi solidaritas. Nabi Saw
mengajarkan bahwa tanggung jawab terhadap korban dan yang lemah adalah tugas
bersama, bukan belas kasihan sesaat. Tanpa langkah ini, Islam mungkin
kehilangan wajah kemanusiaannya yang paling lembut.
Ketiga, peran istri-istri Nabi Saw sangat krusial sebagai
sumber utama transmisi ilmu yang berkaitan dengan ranah privat kehidupan
Rasulullah. Dari mereka, kita jadi tahu tata cara mandi wajib hingga etika
dalam hubungan suami-istri. Para istri utama seperti Aisyah dan Ummu Salamah
bertindak sebagai guru besar yang meriwayatkan ribuan hadis. Tanpa kontribusi
unik dari mereka, pengetahuan mendalam tentang fikih perempuan, etika rumah
tangga, dan dimensi kemanusiaan Nabi akan hilang secara permanen.
Dengan demikian, pilihan Nabi Muhammad Saw untuk
berpoligami bukanlah cerminan ambisi pribadi. Monogami adalah idealitas
personal yang beliau buktikan selama 25 tahun; tetapi poligami beliau adalah
kebutuhan historis yang mutlak demi kelangsungan dan kesempurnaan ajaran Islam.
Namun, jangan buru-buru menafsirkan langkah Nabi sebagai
lisensi untuk kamu menambah istri sesuka hati. Kamu tidak sedang hidup di abad
ke-7 dengan beban risalah di pundakmu, jadi jangan samakan dirimu dengan Nabi
Saw yang memikul misi peradaban. Poligami beliau terikat pada misi kenabian dan
tanggung jawab sosial yang melampaui kepentingan pribadi.
Selain sebagai suami dari beberapa istri, Nabi Saw juga
seorang ayah. Nabi Saw memiliki tujuh anak yaitu Qasim, Zainab, Ruqayyah, Ummu
Kultsum, Fatimah, Abdullah, dan Ibrahim. Sebagian riwayat menyebut dua nama
lain, Thahir dan Thayyib, yang kemungkinan hanyalah sebutan lain bagi Abdullah.
Nabi Saw sangat mencintai putra-putrinya ini.
Keadaan paling menyakitkan bagi manusia adalah kehilangan
orang yang dicintai, entah seorang anak yang kehilangan orang tuanya atau orang
tua yang kehilangan anaknya. Muhammad merasakan keduanya. Tumbuh sebagai yatim,
kehilangan ayah sebelum lahir, lalu ibunya saat masih kecil. Tak lama kemudian,
kakek yang mengasuhnya juga meninggal. Luka demi luka menempa dirinya sejak
dini.
Namun rasa kehilangan itu belum berakhir. Ketika Nabi Saw
telah menjadi seorang ayah, satu per satu anaknya wafat lebih dulu darinya.
Hanya Fatimah yang sempat menyaksikan ayahnya meninggal. Bagi siapa pun,
kehilangan satu anak saja sudah cukup membuat dunia runtuh. Bagaimana dengan
Nabi Muhammad yang harus menguburkan enam orang anak kandungnya.
Belum cukup sampai di situ. Di tengah luka yang
bertumpuk, Abu Jahl berlari di jalan-jalan Mekkah sambil berteriak bahwa
Muhammad telah terputus keturunannya. Dalam budaya Arab pra-Islam, keturunan
laki-laki adalah simbol kehormatan dan penerus nama keluarga. Betapa pedih
ejekan itu, datang tepat di saat hatinya sedang hancur.
Bayangkan jika kamu berada di posisinya. Sudah kehilangan
orang-orang yang dicintai, masih harus menanggung hinaan dari mereka yang
membenci. Mungkin kamu tidak akan kuat. Mungkin kamu akan berhenti. Tetapi
Muhammad tetap berjalan. Nabi Saw tidak membalas dengan kemarahan, melainkan
dengan kesabaran dan keimanan.
Di saat seperti itulah, wahyu turun menenangkan hatinya.
“Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu karunia yang berlimpah. Maka
dirikanlah salat untuk Tuhanmu dan berkurbanlah. Sungguh, orang yang
membencimu, dialah yang terputus.” (QS. Al-Kautsar: 1–3).
Ayat ini bukan sekadar hiburan, tetapi juga janji.
Sejarah telah membuktikan kebenarannya. Nama Abu Jahl hanya menjadi simbol
kebodohan dan kesombongan manusia. Namanya menjadi peringatan abadi bahwa
kebencian kepada kebenaran tidak akan pernah menang melawan cahaya wahyu.
Sementara itu, pengikut Nabi Muhammad Saw justru menyebar
ke seluruh dunia. Dalam waktu 100 tahun setelah beliau wafat, ajaran Islam
telah meluas jauh dari tanah kelahirannya di Semenanjung Arab. Panji-panji
Islam berkibar hingga ke Andalusia di barat, menyeberangi pegunungan Atlas di
Afrika Utara, menembus lembah Indus di timur, bahkan mencapai jantung Persia
dan Asia Tengah.
Pada abad ke-21, Islam menjadi agama dengan lebih dari
2.000.000.000 pemeluk. Di setiap benua, dari masjid kecil di desa terpencil
hingga menara tinggi di kota metropolitan, nama Muhammad dilantunkan dalam azan
dan doa. Setiap detik, ada yang bershalawat kepadanya di tempat yang berbeda di
muka bumi.
Kamu adalah bagian dari mata rantai panjang itu. Mengenal
Nabi berarti mengenal mereka yang ada di sisinya, yang berbagi duka dan cinta
dalam perjalanan risalah. Dari Khadijah yang menenangkan hati Nabi di masa
sulit, hingga Fatimah yang menjadi penyejuk di tahun-tahun terakhir hidup
beliau.
Sebutlah nama-nama istri dan anak Nabi Muhammad Saw
dengan penuh hormat. Hafalkan, kenali kisah mereka, dan biarkan keteladanan itu
tumbuh dalam dirimu.
(Redaksi)