LPKAPNEWS,, YOGYAKARTA – Lembaga Budaya Seni dan
Olahraga Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah (LBSO PP ‘Aisyiyah) gelar Webinar Film
Dokumenter Berbasis Data Sejarah, Tradisi Lisan, dan Heritage pada Sabtu
(16/8/25) secara hybrid dari kantor PP ‘Aisyiyah. Acara yang diikuti lebih dari
200 peserta yang merupakan LBSO seluruh Indonesia dan Majelis Pusataka dan
Informasi (MPI) Muhammadiyah ini diselenggarakan menjelang akan ditayangkannya
film dokumenter Siti Walidah yang digagas oleh LBSO PP ‘Aisyiyah.
Ketua Umum PP ‘Aisyiyah, Salmah Orbayinah menyampaikan
bahwa inisiatif LBSO dalam membuat film dokumenter Siti Walidah ini mencegah
hilangnya pengetahuan akan cerita yang biasanya diturunkan dari generasi ke
generasi. “Ini melakukan suatu upaya yang luar biasa yaitu dalam rangka
melestarikan keaslian dan kearifan budaya dari Nyai Siti Walidah Dahlan, baik
pikiran-pikirannya, gerakkannya yang luar biasa, maupun dari peninggalan yang
mungkin tidak tercatat saat itu yang hanya bisa diketahui dengan lisan.”
Salmah berharap webinar ini dan film Siti Walidah dapat
menjadi sarana pembelajaran yang sangat berharga sehingga masyarakat dapat
memahami secara utuh dan mendalam tentang sosok Siti Walidah Dahlan.
Ketua LBSO PP ‘Aisyiyah, Widiyastuti menyampaikan bahwa
film dokumenter yang digagas oleh LBSO ini disusun setelah melalui serangkaian
riset yang panjang dan mengupas sosok Siti Walidah bukan dalam konteks peran
domestiknya tetapi peran publiknya. “Bagaimana jejak Siti Walidah yang berupa
tradisi lisan maupun heritage bepengaruh pada kehidupan perempuan Indonesia,”
ucap perempuan yang akrab disapa Wiwied ini.
‘Aisyiyah disebut Wiwied sejak awal berdirinya sudah
memiliki pandangan yang jelas bagaimana laki-laki dan perempuan memiliki posisi
yang sama dalam ibadah dan akan dimintai pertanggung jawabannya
sendiri-sendiri. “Pesan ini penting karena pada masa itu, posisi perempuan
khususnya di lingkungan Jawa ada di posisi second class atau bahkan kelas yang
kesekian sehingga banyak hal yang tidak bisa dilakukan oleh perempuan atas nama
budaya.” Hal ini tercermin dari gerakan ‘Aisyiyah yang mengusung surat an-Nahl
97. “Di situ kita melihat ada kesetaraan dalam laki-laki dan perempuan yang
sudah digaungkan oleh ‘Aisyiyah,” ucapnya.
Lebih lanjut, Wiwied menyebut film dokumenter ini ingin
menyampaikan kepada khalayak luas bagaimana tradisi pemikiran dan tradisi lisan
Siti Walidah yang diwujudkan dalam aksi nyata dalam upaya memajukan kehidupan
perempuan Indonesia. “Ini menjadi hal yang harus kita sampaikan kepada
masyarakat, bagaimana seorang Siti Walidah punya peran luar biasa dan beliau
berhak menyandang sebagai pahlawan nasional tidak hanya karena beliau istri
dari K.H. Ahmad Dahlan,” tegas Wiwied
Wiwied menekankan peran warga ‘Aisyiyah saat ini untuk
menjadi penerus perjuangan Siti Walidah, termasuk bagaimana berkontribusi dalam
mensyiarkan apa yang sudah dilakukan Siti Walidah agar diketahui khalayak yang
lebih luas. “Ini menjadi kontribusi perempuan Muhammadiyah dan perempuan
Indonesia untuk peradaban masa depan perempuan.”
Muhammad Ihsan Budi Prabowo yang masuk dalam tim riset
film Siti Walidah menyebut bahwa langkah penelitian yang mengangkat tradisi
lisan dan heritage ini adalah langkah revolusioner. “Ini langkah revolusioner
termasuk baru dalam penelitian karena biasanya sejarah pergerakan Islam fokus
pada arsip data atau teks dan sejarah lisan pendek dengan bertanya kepada
keluarga ataupun cucu.”
Sedangkan tradisi lisan, disebut Ihsan adalah menggali
apa yang dilakukan Siti Walidah yang sudah menjadi memori yang melekat secara
permanen. “Saat fakta berubah menjadi nilai,” tegasnya.
Upaya yang dilakukan LBSO PP ‘Aisyiyah dalam menggali
sejarah tradisi lisan dan heritage ini disebut Ihsan juga menjadi upaya untuk
memperkaya memori khalayak terkait Siti Walidah yang sampai saat ini stagnan
atau diisi dengan sejarah yang berulang. “Kalau memori tentang Siti Walidah itu
stagnan, kita menceritakan kisah Siti Walidah hanya itu-itu saja, tidak ada
sesuatu yang baru dari segi sejarah, maka kisah Siti Walidah akan terekspose
sedikit,” ucapnya. Menurut Ihsan, hingga saat ini baru ada tiga penelitian
terkait Siti Walidah yang jika dibandingkan penelitian terkait K.H. Ahmad
Dahlan sangat jauh jumlahnya.
Yusron Fuadi, selaku sutradara film mengaku bahwa ia
bersemangat untuk menggarap film dokumenter Siti Walidah ini karena tertarik
dengan data dan fakta cerita yang sudah berhasil dikumpulkan oleh tim riset
bersama LBSO PP ‘Aisyiyah. “Karena saya sudah senang dengan materinya, saya
mencoba untuk sebisa mungkin film ini akan menjadi seperti legacy, saya juga
ingin membuat film dokumenter ini dilihat orang puluhan tahun kemudian itu
masih bagus,” ucapnya.
Sehingga Yusron mengaku all out dalam penggarapan film
bahkan berbicara dari sisi teknis ia menggunakan menggunakan kamera sinema,
kamera yang sama yang ia gunakan untuk menggarap film bioskop. Beberapa hal
juga ia dan tim lakukan untuk menyuguhkan sinematografi yang ciamik. “Kita
bersusah-susah dalam rangka agar penonton mendapat pengalaman yang paling asyik
dalam melihat film dokumenter kita ini,” ungkapnya.
Yusron menyampaikan melalui film ini akan diketengahkan
kisah Siti Walidah yang tidak langsung dikorelasikan dengan K.H Ahmad Dahlan.
Film Siti Walidah ini digarap dengan pendekatan dokumenter ekspository yang
menurut Yusron adalah pendekatan yang paling masuk akal untuk mengangkat
peristiwa dan tokoh yang sudah hidup seratus tahun yang lalu dengan menjelaskan
fakta, menggunakan narasi yang diperkuat menggunakan wawancara.
Dalam menggarap film ini Yusron juga mengaku mendapatkan
kebebasan untuk berekspresi sebagai sutradara yang sangat jarang didapatkan di
penggarapan film dokumenter. Sehingga ia merasa tidak terlalu banyak disetir
karena suasana pengerjaan film yang terbuka dengan diskusi. “Saya bisa dengan
bangga menyatakan bahwa film Siti Walidah ini adalah film saya,” ucapnya.
Nantinya film dokumenter Siti Walidah ini akan tayang di
bioskop yang ada di area Yogyakarta, kemudian akan diikutsertakan dalam
beberapa festival film sebelum ditayangkan kepada khalayak lebih luas.
Sumber, Muhammadiyah Or Id