LPKAPNEWS,
YOGYAKARTA – Ketua
Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Haedar Nashir, dalam Pidato Kebangsaan 80
Tahun Indonesia Merdeka menyampaikan refleksi kritis atas kondisi bangsa pada
Ahad (17/08).
Ia
menegaskan, meski telah banyak kemajuan, kemerdekaan yang sudah berusia delapan
dasawarsa ini menghadapi tantangan serius berupa penyalahgunaan kekuasaan,
korupsi, hingga dominasi oligarki.
“Namun
terdapat panorama lain, ketika hari ini kita merayakan Indonesia Merdeka,
sebagian anak bangsa tidak menghayatinya sepenuh jiwa-raga seakan momentum
kemerdekaan itu berlalu begitu saja tanpa makna dan sukma,” ungkapnya.
Menurut
Haedar, peringatan 80 tahun kemerdekaan justru menghadirkan paradoks ketika
penyalahgunaan kekuasaan masih terjadi. Ia menyebut, “Ketika terjadi berbagai
penyalahgunaan dalam praktik berbangsa bernegara, justru 80 tahun Indonesia
merdeka jelas paradoks luar biasa.”
Padahal,
ujarnya, bangsa seharusnya bersyukur atas berkah kemerdekaan dan menghargai
perjuangan rakyat, bukan malah terjebak dalam “salah kaprah dan ajimumpung
dalam mengurus bangsa dan negara, yang menyebabkan Indonesia menderita.”
Haedar
juga menyoroti berbagai masalah serius yang menggerogoti sendi kehidupan
berbangsa. Ia menegaskan bahwa praktik korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, dan
oligarki politik-ekonomi telah merugikan rakyat.
“Korupsi,
penyalahgunaan kekuasaan, oligarki politik dan ekonomi, pengurasan sumberdaya
alam, pemberian konsesi kepada pihak asing yang merugikan kepentingan negara
sendiri,” sebutnya.
Lebih
lanjut, Haedar menambahkan, penghamburan uang negara dan dibiarkannya
kesenjangan sosial hanya akan menjadi “bentuk ironi pahit kemerdekaan.”
Dalam
pidatonya, Haedar mengingatkan kembali bagaimana perjuangan rakyat Indonesia
melawan penjajah penuh pengorbanan jiwa, raga, dan harta benda.
“Padahal
di masa lalu betapa pedihnya perjuangan rakyat dan para pejuang negeri tercinta
demi Indonesia merdeka. Ratusan tahun tanah Nusantara dijajah Portugis,
Belanda, Inggris, dan Jepang dengan Negara Kincir Angin yang paling lama
menjajah di bumi Pertiwi tercinta. Sungguh, sangat menderita rakyat Indonesia,”
ujarnya.
Ia juga
mengutip potret penderitaan bangsa yang dilukiskan Eduard Douwes Dekker
dalam Max Havelaar, tentang praktik tanam paksa,
korupsi pejabat, dan politik pecah belah kolonial. Menurut Haedar, hal itu
jangan sampai terulang dalam bentuk baru.
“Di
tengah ganasnya perlakuan penjajah, tidak sedikit di sejumlah daerah ada oknum
raja-raja dan pejabat-pejabat pribumi oportunis yang memihak kolonial demi
meraih keuntungan sesaat,” jelasnya.
Ia
menambahkan bahwa politik devide at impera menjadi senjata paling ampuh
dalam memecah-belah bangsa sehingga cita-cita kemerdekaan makin jauh dari
harapan.
Haedar
kemudian mengajak seluruh elite dan rakyat untuk kembali pada cita-cita luhur
para pendiri bangsa. Ia menegaskan, mandat rakyat dan konstitusi bukan milik
pribadi atau kelompok.
“Bagi
seluruh elite yang memiliki akses kekuasaan politik, tunaikan mandat konstitusi
dengan penuh bakti demi ibu pertiwi. Jauhi sikap angkuh dengan kekuasaan
politik di tangan. Mandat rakyat itu hanyalah titipan, bukan kekuasaan untuk
dimiliki,” pesannya.
Pidato
kebangsaan Haedar ditutup dengan ajakan agar Indonesia benar-benar menjadi
negara yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur, bukan hanya dalam
simbol, tetapi dalam kenyataan hidup rakyatnya.
Sumber, Muhammadiyah Or Id