LPKAPNEWS, TANJUNG PINANG – Dalam rangka memperingati Hari Lahir Kejaksaan Republik Indonesia ke-80 Tahun 2025, Kejaksaan Tinggi Kepulauan Riau bekerjasama dengan Universitas Riau Kepulauan menyelenggarakan Seminar Ilmiah dengan tema “Optimalisasi Pendekatan Follow the Asset dan Follow the Money melalui Deferred Prosecution Agreement dalam Penanganan Perkara Pidana” yang dilaksanakan di Aula Sasana Baharuddin Lopa Kejaksaan Tinggi Kepulauan Riau Jl. Sungai Timun No.1 Senggarang, Kec. Tanjungpinang Timur Kota Tanjung Pinang (26/08/2025).
Dalam seminar ilmiah tersebut menghadirkan Kepala Kejaksaan Tinggi Kepulau Riau J. Devy Sodarso sebagai Keynote Speech serta 3 (tiga) narasumber yakni Ketua Pengadilan Tinggi Kepulauan Riau H. Ahmad Shalihin, S.H., M.H., Wakajati Kepri Irene Putrie, Ka Prodi Magister Hukum Universitas Riau Kepulauan Dr. Alwan Hadiyanto, S.H.,M.H dan Lia Nuraini, SH. MH Dosen Ilmu Hukum UMRAH selaku moderator.
Asisten Bidang Tindak Pidana Umum Bayu
Pramesti, S.H.,M.H selaku Ketua Panitia Peringatan Hari Lahir Kejaksaan RI
ke-80 lingkup Kejaksaan Tinggi Kepri dalam laporannya menyampaikan rasa
syukurnya atas terselenggaranya kegiatan seminar yang dihadiri oleh 250 peserta
dari berbagai komponen antara lain ASN dari berbagai instansi, Advokat, para
Jaksa, Akademisi, Hakim, Penyidik Kepolisian, Mahasiswa dan 40 jurnalis
perwakilan Awak Media Provinsi Kepri.
“Bahwa kegiatan Seminar Ilmiah ini serentak dilakukan dalam rangka memperingati Hari Lahir Kejaksaan Republik Indonesia dan telah terselenggara di Kejaksaan Agung pada tanggal 21 Agustus 2025 dan akan dilaksanakan secara serentak pada tingkat Kejaksaan Tinggi se-indonesia di tanggal 25 dan 26 agustus 2025” lapornya.
Selanjutnya, Kajati Kepri J. Devy
Sudarso dalam Keynote Speech menegaskan bahwa paradigma penegakan hukum modern
tidak boleh hanya berorientasi pada penghukuman pelaku tindak pidana, tetapi
juga harus mengedepankan pemulihan kerugian negara dan perlindungan masyarakat.
“Pendekatan Follow the Asset dan Follow the Money menjadi instrumen penting untuk memastikan bahwa kejahatan, khususnya korupsi dan tindak pidana ekonomi, tidak berhenti pada pelaku saja, tetapi juga menyasar aliran dana, aset dan jaringan kejahatan. Mekanisme Deferred Prosecution Agreement hadir bukan sebagai impunitas, melainkan instrumen untuk memulihkan keuangan negara, meningkatkan kepatuhan hukum, serta mencegah kejahatan berulang,” tegas Kajati Kepri.
Kajati Kepri juga menyoroti empat alasan
penting perlunya mempertimbangkan penerapan mekanisme Deferred Prosecution
Agreement (DPA) di Indonesia, antara lain: keselarasan dengan nilai budaya
hukum Pancasila, pemenuhan komitmen internasional setelah meratifikasi UNCAC
2003, keterbatasan mekanisme perampasan aset melalui jalur pidana maupun
perdata, serta relevansi DPA dalam mendorong korporasi memperbaiki tata kelola
sesuai prinsip good corporate governance.
“Melalui forum ilmiah ini, saya berharap lahir gagasan inovatif dan rekomendasi kebijakan aplikatif yang mampu memperkuat sistem hukum Indonesia, sejalan dengan visi RPJPN 2025–2045 menuju Indonesia Emas, yakni tata kelola pemerintahan yang baik, pelayanan publik yang berkualitas, serta sistem penegakan hukum yang adil, transparan dan berorientasi pada pemulihan kepentingan negara serta masyarakat” tutupnya.
Dalam sesi berikutnya penyampaian meteri, narasumber pertama H. Ahmad Shalihin, S.H., M.H., Ketua Pengadilan Tinggi Kepulauan Riau menyoroti pentingnya penerapan Deferred Prosecution Agreement (DPA) dalam penanganan perkara pidana, khususnya yang melibatkan korporasi. DPA dipandang sebagai mekanisme penyelesaian perkara dengan penundaan penuntutan berdasarkan kesepakatan antara jaksa dan terdakwa dengan syarat tertentu, seperti pengembalian aset atau dana yang terkait tindak pidana. Pendekatan ini dinilai mampu memulihkan kerugian negara sekaligus memberi kesempatan bagi korporasi untuk memperbaiki tata kelola serta menjaga keberlangsungan usaha tanpa harus menanggung beban vonis bersalah yang dapat mengakibatkan kebangkrutan maupun hilangnya reputasi.
Konsep DPA dengan perkembangan hukum di Indonesia, meskipun KUHP dan RUU KUHAP saat ini belum secara eksplisit mengatur mekanisme tersebut, terdapat kesamaan dengan penyelesaian perkara di luar pengadilan, sebagaimana diatur melalui restorative justice. Namun, DPA memiliki karakteristik berbeda karena fokus pada tindak pidana ekonomi dan korupsi dengan orientasi follow the asset dan follow the money.
“Dengan pemulihan aset sebagai syarat utama, DPA diharapkan tidak hanya menjadi alternatif penyelesaian perkara, tetapi juga sarana mendorong kepastian hukum, mendukung pertumbuhan ekonomi, menjaga iklim investasi dan memperkuat peran hukum sebagai alat pembaharuan sosial sesuai arah RPJPN 2025–2045 menuju Indonesia Emas” ucapnya.
Kemudian narasumber berikutnya Irene Putrie, Wakil Kepala Kejaksaan Tinggi Kepulauan Riau menekankan bahwa paradigma penegakan hukum modern tidak hanya berorientasi pada pemidanaan pelaku, tetapi juga harus diarahkan pada pemulihan aset negara hasil tindak pidana. Berbagai potensi kerugian negara dari tindak pidana seperti tindak pidana pencucian uang, korupsi, narkotika, perpajakan, perbankan, hingga kejahatan siber diuraikan dengan data nilai kerugian yang signifikan. Melalui pendekatan Follow the Asset dan Follow the Money, penegak hukum dapat menelusuri aliran dana dan aset, mengungkap jaringan kejahatan, serta memastikan hasil kejahatan tidak dinikmati oleh pelaku.
Lebih lanjut, narasumber juga mengulas
studi kasus internasional seperti Alstom, Innospec dan Garuda Indonesia yang
menunjukkan pentingnya kerjasama lintas negara dalam penelusuran aset. Beliau
menjelaskan mekanisme repatriasi aset yang meliputi pelacakan (tracing),
pembekuan (freezing), penyitaan (seizing), perampasan (confiscating), hingga
pengembalian (repatriation). Selain itu, ditekankan pula pentingnya instrumen
kerjasama internasional melalui Mutual Legal Assistance (MLA), civil action
arrangement dan non-conviction based asset forfeiture dalam memperkuat proses
pemulihan aset.
“Dengan paradigma ini, penegakan hukum tidak hanya menghukum pelaku, tetapi juga mengembalikan kerugian negara dan memperbaiki tata kelola korporasi sesuai prinsip good corporate governance” imbuhnya.
Narasumber terakhir Dr. Alwan Hadiyanto membahas penerapan Deferred Prosecution Agreement (DPA) sebagai mekanisme alternatif dalam penyelesaian perkara pidana. DPA dipandang sebagai instrumen progresif yang memungkinkan adanya penundaan penuntutan dengan syarat tertentu, seperti ganti rugi, perbaikan tata kelola dan komitmen untuk tidak mengulangi tindak pidana. Konsep ini mencerminkan nilai kejujuran dan permaafan yang selaras dengan falsafah Pancasila, serta mendukung implementasi United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) yang telah diratifikasi Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006.
Terakhir, Dr. Alwan menekankan bahwa penerapan DPA perlu dianalisis melalui perspektif Economic Analysis of Law, yaitu mengukur efektivitas hukum dari sisi biaya dan manfaat, khususnya dalam konteks pemulihan kerugian negara. “Dengan paradigma ini, penegakan hukum tidak hanya fokus menghukum pelaku, tetapi juga memastikan tercapainya efisiensi, pemulihan keuangan negara, dan keadilan sosial. DPA juga memberikan ruang bagi korporasi untuk memperbaiki tata kelola sesuai prinsip Good Corporate Governance (GCG), sehingga dapat mencegah terulangnya tindak pidana serupa di masa depan” tutupnya.
Sesi terakhir berupa sesi tanya jawab
berjalan dengan sangat antusias dari semua perwakilan peserta yang mengajukan
pertanyaan yang dijawab langsung oleh para narasumber. Turut hadir dalam
seminar ilmiah tersebut Kapolda Kepulauan Riau diwakili Kombespol Agung Surya
Prabowo, Kepala Kantor Wilayah Bea Cukai Kepulauan Riau, Rektor Universitas
Riau Kepulauan, Rektor Universitas Maritim Raja Ali Haji, para Asisten pada
Kejati Kepri, Kabag TU dan Koordiator, Kepala KSOP Batam, Kepala KSOP Kelas III
Kijang, Kepala KSOP Tanjung Uban, Kepala Kantor Wilayah Hukum Kepulauan Riau,
Kepala Kantor Imigrasi, Kepala BP Batam, Kepala BP Bintan, Ketua DPC Asosiasi Advokat Indonesia
Tanjungpinang, Ketua DPC PERADI Tanjungpinang, Ketua DPC Perkumpulan Pengacara
dan Konsultan Hukum Indonesia (PPKHI) Tanjungpinang, Mahasiswa dari Kampus URK
dan Kampus Umrah, para Jurnalis dari berbagai Media, seluruh pegawai Kejati
Kepri, Kejari Tanjungpinang, Kejari Bintan serta diikuti secara daring oleh
seluruh pegawai pada Kejari Batam, Kejari Kep. Anambas, Kejari Natuna, Kejari
Lingga, Kejari Karimun, Cabjari Batu dan Cabjari Moro.