LPKAPNEWS, YOGYAKARTA — Anggota Lembaga Pondok
Pesantren Pimpinan Pusat Muhammadiyah (LP2 PPM), Cecep Taufiqurrohman,
memaparkan pentingnya memahami konsep kebangsaan dalam perspektif Islam.
Kajian ini disampaikan dalam acara Gerakan Subuh
Mengaji pada Jumat (8/8), yang membahas keterkaitan antara nilai-nilai
kebangsaan, keberagaman, dan ajaran Islam.
Cecep memulai dengan mengutip Al-Qur’an surah Al-Hujurat
ayat 13 yang menegaskan bahwa Allah menciptakan manusia berbangsa-bangsa dan
bersuku-suku agar saling mengenal (lita‘ārafū), bukan untuk saling merendahkan.
Menurutnya, kemuliaan di sisi Allah diukur dari
ketakwaan, bukan latar belakang etnis atau bangsa.
Ia kemudian menjelaskan keragaman agama di Indonesia
dengan membandingkannya pada kondisi Jazirah Arab di masa Nabi Muhammad SAW.
Pada masa itu, terdapat berbagai agama seperti Islam,
Yahudi, Kristen, Zoroaster (Majusi), dan kepercayaan Paganis (animisme).
Sementara di Indonesia saat ini hidup berdampingan enam agama resmi: Islam,
Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu.
Sebagai teladan berbangsa di tengah perbedaan, Cecep
menyoroti Piagam Madinah yang digagas Rasulullah SAW sebagai konsensus bersama
penduduk Madinah. Piagam tersebut menjadi fondasi tatanan kehidupan damai di
tengah keragaman keyakinan dan etnis.
Menanggapi pandangan sebagian kalangan yang menganggap
kebangsaan atau nasionalisme bertentangan dengan universalitas Islam dan sistem
khilafah, Cecep menegaskan bahwa Al-Qur’an dan hadits tidak memerintahkan
bentuk negara tertentu.
“Al-Qur’an hanya memerintahkan penerapan syariat sebagai
jaminan kesejahteraan manusia. Bentuk pemerintahan, apakah khilafah atau
lainnya, merupakan hasil ijtihad yang disesuaikan dengan tantangan zaman,”
ujarnya.
Cecep menambahkan bahwa tema kebangsaan juga dibahas
dalam Al-Qur’an. Kitab suci ini tidak hanya mengatur ibadah mahdhah, tetapi
juga urusan muamalah seperti ekonomi, politik, pemerintahan, dan hubungan
sosial.
Menurutnya, kebangsaan di era modern mampu menjamin
kehidupan yang rukun dan damai dalam perbedaan, yang pada gilirannya memudahkan
pemahaman, penghayatan, dan pengamalan ajaran agama.
“Kerukunan dan perdamaian adalah prasyarat penting agar
ajaran Islam dapat terlaksana secara utuh,” tegas Cecep.
Cecep menambahkan bahwa bahwa Indonesia bukanlah negara
khilafah, tetapi tetap menegakkan syariat. Pilar kebangsaan Indonesia yang
terdiri dari Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan NKRI lahir dari
pemikiran para pendiri bangsa, di mana sebagian besar di antaranya adalah ulama
dan tokoh-tokoh Islam.
Cecep menjelaskan, upaya para tokoh Islam pada masa
kemerdekaan dalam membangun pilar kebangsaan dan melaksanakannya dalam bentuk
negara kesatuan sejalan dengan praktik yang dilakukan Nabi Muhammad SAW melalui
Piagam Madinah (Mītsāq al-Madīnah).
Para pendiri bangsa memilih bentuk nation state alih-alih
bergabung dengan aliansi negara khilafah yang saat itu baru dibubarkan.
Menurutnya, para pendiri bangsa mampu merumuskan
titik-titik kompromi di tengah perbedaan yang tajam, dengan mengedepankan
kecintaan terhadap keutuhan dan kejayaan NKRI.
Sumber, Muhammadiyah Or Id