LPKAPNEWS, BANDUNG – Dalam pengajian Gerakan Subuh
Mengaji, Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Barat, Dikdik Dahlan,
menyampaikan paparan inspiratif tentang sosok Jenderal Soedirman.
Ia menekankan dua identitas besar sang jenderal: panglima
besar TNI yang menjadi ikon kebangsaan sekaligus kader Muhammadiyah yang setia
pada nilai Islam berkemajuan.
Bagi Dikdik, mengenang Soedirman berarti juga
merefleksikan peran Muhammadiyah dalam menjaga warisan sejarah perjuangan
bangsa.
Dikdik menggarisbawahi perjalanan hidup Soedirman.
Pertama, sebagai panglima besar Tentara Keamanan Rakyat (TKR) yang terpilih
secara demokratis pada 12 November 1945, ketika usianya baru 34 tahun.
Keberaniannya membuatnya disejajarkan dengan jenderal besar lainnya, Abdul
Haris Nasution dan Soeharto.
Kedua, sebagai kader Muhammadiyah yang sejak muda aktif
menjadi guru dan kepala sekolah HIS Muhammadiyah Cilacap (1936–1942), juga
penggerak Hizbul Wathan (HW) dan Pemuda Muhammadiyah.
“Jarang yang sadar, Soedirman itu kader militan
Muhammadiyah. Gambarnya ada di mana-mana, tapi identitasnya sebagai bagian dari
perserikatan sering terlupakan,” ujar Dikdik.
Lahir di Purbalingga pada 1916, Soedirman tumbuh
sederhana namun berjiwa teguh. Meski menderita sakit tuberkulosis, ia tetap
memimpin perang gerilya selama sembilan bulan.
“Bayangkan, beliau ditandu menembus hutan dan hujan, tapi
tidak pernah menyerah,” kata Dikdik. Kesederhanaan, disiplin, dan keuletannya
mencerminkan spirit Muhammadiyah yang membentuk jati dirinya.
Akan tetapi Dikdik menyesalkan minimnya penghargaan
Muhammadiyah terhadap tokoh-tokohnya yang berjasa besar bagi bangsa, seperti
Ir. Juanda, Oto Iskandar Dinata, hingga K.H. Mas Mansur. Ia menyinggung kisah
getir Mas Mansur, Ketua Umum PP Muhammadiyah yang wafat akibat siksaan selama
ditahan Jepang dan Belanda.
“Enam bulan beliau disiksa, tidak diberi makan layak,
tubuhnya rusak. Tapi ini jarang diketahui,” ujarnya.
Menurut Dikdik, Muhammadiyah harus lebih giat mengangkat
kisah para tokohnya. Ia mengutip Din Syamsuddin yang menyebut peringatan milad
Muhammadiyah sebagai momentum syukur (tahaddus bin ni’mah) sekaligus syiar.
“Banyak tokoh kita diakui pihak lain, tapi kita sendiri
kurang merawatnya,” kritiknya.
Kembali ke Surdirman, Dikdik juga menyoroti peran Hizbul
Wathan dalam membentuk karakter beliau. Salah satu jejaknya adalah usul
perubahan seragam HW dari celana pendek ke celana panjang di Kongres ke-29
Yogyakarta (1940/1941), agar lebih praktis saat salat.
“Kecerdasan beliau selalu menghubungkan aspek praktis
dengan nilai spiritual,” kata Dikdik.
Ia lalu mengaitkan semangat HW dengan konsep jihad
fisabilillah. Mengutip dialog ‘Aisyah dengan Rasulullah SAW, ia menjelaskan
bahwa jihad tidak selalu perang, melainkan juga pengabdian, seperti ibadah haji
maupun mengelola gerakan dakwah.
“Gerakan Subuh Mengaji ini juga jihad fisabilillah,”
tegasnya.
Refleksi dan Tanggung Jawab
Bagi Dikdik, mengenang Soedirman tidak cukup dengan klaim
kebanggaan, tetapi juga perhatian nyata kepada keluarga para tokoh. Ia
mencontohkan perjumpaannya dengan keluarga almarhum Ez Muttaqin yang jarang
dikunjungi warga Muhammadiyah.
“Jangan sampai kita mengklaim Soedirman sebagai kader,
tapi keluarganya hidup tidak layak,” ujarnya.
Ia juga menekankan pentingnya memperluas peran HW agar
tidak terbatas di sekolah Muhammadiyah, serta mendorong kolaborasi dengan TNI
untuk menghidupkan kembali nilai-nilai kepemimpinan Soedirman.
Di akhir paparannya, Dikdik berpesan dua hal:
Muhammadiyah perlu lebih serius menelusuri dan menghormati warisan tokohnya,
termasuk memperhatikan ahli waris, serta para kader yang terjun ke arena
kebangsaan harus membawa integritas dan keteladanan.
“Jangan pernah ragu jadi kader Muhammadiyah. Seperti kata
Soedirman, kalau ragu, lebih baik pulang,” pungkasnya.
Paparan ini bukan hanya mengingatkan pada heroisme
Jenderal Soedirman, tetapi juga menggugah Muhammadiyah untuk terus menyuarakan
nilai perjuangan dan menjaga warisan tokohnya agar tetap hidup di tengah
dinamika zaman.
Sumber, Muhammadiyah Or Id