LPKAPNEWS - “Barangsiapa di antara kamu melihat kemungkaran, maka hendaklah ia mengubah dengan tangannya; jika tidak mampu maka dengan lisannya; jika tidak mampu maka dengan hatinya, dan itu selemah-lemahnya iman.” (HR. Muslim)
Sore itu, udara bulan Agustus terasa berbeda. Di
alun-alun kota, merah putih berkibar gagah, musik perjuangan terdengar di
antara derap langkah peserta pawai. Namun di sudut lain, sekelompok anak muda
duduk menunduk, mata terpaku pada layar ponsel, tenggelam dalam dunia digital
yang tak mengenal waktu. Pemandangan itu membuat saya bertanya dalam hati:
Apakah kita sedang merayakan kemerdekaan atau sekadar menandainya?
Sebagai kader muda Muhammadiyah sekaligus bagian dari Majelis Pembinaan Kader dan Sumber Daya Insani (MPKSDI), saya sering merenung: negeri ini tidak kekurangan bendera, lagu, atau seremoni, tetapi kadang kekurangan penggerak yang benar-benar siap mengisi kemerdekaan dengan karya nyata. Kemerdekaan yang kita nikmati adalah hasil dari perjuangan panjang para pendahulu. Para pahlawan, termasuk tokoh Muhammadiyah seperti Ki Bagus Hadikusumo, KH. Ahmad Dahlan, dan KH. Mas Mansur, tidak hanya memikir dan pembebasan dari penjajah, tetapi juga memerdekakan akal, jiwa, dan masyarakat dari kebodohan serta ketertinggalan.
Dalam semangat Islam berkemajuan, kemerdekaan adalah
amanah untuk membangun peradaban. Allah menegaskan dalam Al-Qur’an: “Kamu
adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf,
mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah.” (QS. Ali Imran: 110)
Artinya, kemerdekaan tidak hanya diukur dari kedaulatan politik, tetapi juga
dari kemauan kita untuk menjadi umat terbaik—yang aktif mengubah keadaan, bukan
sekadar penonton.
Kader Muda di Persimpangan Jalan
Kader Muhammadiyah hari ini berada di persimpangan besar. Di satu sisi, kita diberi kemudahan akses informasi, jejaring global, dan teknologi mutakhir. Di sisi lain, kita dihadapkan pada arus besar distraksi: budaya instan, politik identitas, hingga konsumsi konten yang sering kali jauh dari nilai dakwah. Banyak kader muda yang bersemangat di forum-forum resmi, namun meredup ketika kembali ke kehidupan sehari-hari. Ada yang aktif di media sosial, tetapi jarang menyentuh masyarakat secara langsung.
Padahal, dakwah
pencerahan yang diusung Muhammadiyah tidak lahir dari ruang hampa; ia hidup di
tengah denyut nadi masyarakat. Saya pernah bertemu dengan seorang kader
muda di pelosok kampung Sumatera utara. Ia bukan tokoh terkenal, bukan pula
pemimpin formal. Namun sejak pandemi, ia mengajar anak-anak kampung membaca
Al-Qur’an dan membantu para petani mengelola hasil panen agar lebih bernilai
jual. Semua dilakukan di sela pekerjaannya sebagai buruh harian.
Ketika saya tanya, “Mengapa terus bertahan di sini?” Ia
menjawab sambil tersenyum, “Karena kemerdekaan itu bukan untuk dinikmati
sendiri, tetapi untuk dibagikan. Kalau saya tidak bergerak, siapa yang akan
bergerak?” Kisah seperti ini mengingatkan bahwa kebangkitan kader tidak selalu
berarti menunggu jabatan atau momen besar. Kadang, kebangkitan itu dimulai dari
langkah kecil yang konsisten.
Bangkitnya kader Muhammadiyah adalah keniscayaan jika kita ingin menjawab tantangan zaman. MPKSDI mengajarkan bahwa pembinaan kader tidak cukup dengan teori. Harus ada integrasi antara ideologi, kompetensi, dan aksi nyata. Kita membutuhkan kader yang:
1. Berpikir Visioner – Mampu melihat peluang di balik masalah.
2. Bergerak di Akar Rumput – Hadir di tengah masyarakat, tidak hanya di
panggung acara.
3. Berbasis Nilai – Menjadikan Al-Qur’an, sunnah, dan prinsip Islam berkemajuan
sebagai kompas.
Kader yang seperti ini tidak hanya ikut arus, tetapi membentuk arus. Untuk itu, ada beberapa langkah yang bisa kita lakukan bersama:
1. Perkuat Literasi Ideologi Muhammadiyah. Kenali sejarah, paham, dan misi
dakwah kita agar tidak mudah terbawa arus pragmatisme.
2. Bangun Gerakan dari Lingkungan Terdekat. Tidak perlu menunggu program besar.
Mulailah dari masjid, sekolah, dan komunitas sekitar.
3. Manfaatkan Teknologi untuk Dakwah Pencerahan. Gunakan media sosial sebagai
sarana edukasi, advokasi, dan inspirasi.
4. Kolaborasi Antar Angkatan dan Organisasi Otonom. Sinergi antara senior dan
junior akan mempercepat transformasi.
5. Teguhkan Komitmen Pengabdian. Seperti pesan KH. Ahmad Dahlan,
“Hidup-hidupilah Muhammadiyah, jangan mencari hidup di Muhammadiyah.”
Reflektif
Dirgahayu negeriku, Indonesia. Seratus persen merdeka bukan berarti seratus
persen selesai. Justru di sinilah kerja kita dimulai. Kemerdekaan adalah ruang
kosong yang harus kita isi dengan amal shaleh, karya nyata, dan kontribusi
berkelanjutan. Wahai kader Muhammadiyah, bangkitlah! Jadilah generasi yang tak
hanya mengibarkan bendera, tetapi juga menegakkan keadilan. Generasi yang tak
hanya menyanyikan lagu perjuangan, tetapi juga menulis bab baru perjuangan itu dengan tinta pengabdian. Karena pada
akhirnya, sejarah tidak diingat oleh mereka yang diam, tetapi oleh mereka yang
bergerak. Dan kemerdekaan sejati adalah saat kita mampu mengabdi kepada umat
dan bangsa dengan sepenuh hati—di manapun kita berdiri, dalam keadaan apapun
kita berada. “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia
lain.” (HR. Ahmad)
Maka, mari kita songsong masa depan dengan tekad yang
bulat: Dirgahayu Negeri, Bangkitlah Kader!
Wallahu a’lam bish shawab
(Redaksi)