LPKAPNEWS - Mungkin tidak asing di telinga kita mendengar ungkapan yang menyatakan bahwa perempuan adalah sumber fitnah. Ungkapan tersebut lambat laun berkembang menjadi persepsi sosial yang melekat kuat di lapisan masyarakat serta mendorong dibatasinya eksistensi dan peran perempuan di ranah publik.
Jika ditelisik, munculnya ungkapan ini
berasal dari hadits sahih yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari yang berbunyi:
عن أسامة بن زيد عن النبي قال: ((ما
ترَكتُ بعدي فتنةً هي أضرُّ على الرِّجالِ مِن النساءِ))؛ رواه البخاري : 5096
“Dari Usamah bin Zaid berkata,
Rasulullah SAW bersabda, “Aku tidak meninggalkan fitnah yang lebih
membahayakan atas laki-laki selain perempuan.” (HR. Bukhari: 5096)
Berpegang pada dalil hadits sahih di
atas, persepsi sosial yang menyepakati bahwa perempuan merupakan sumber fitnah
kemudian menjadi argumentasi kuat yang diyakini oleh banyak orang.
Diperkuat dengan pendapat Ulama ahli
Hadits dari Mazhab Syafi’i bernama Ibnu Hajar Al-‘Asqalani. Dalam kitabnya, Ia
menjelaskan bahwa pernyataan mengenai fitnah perempuan ditegaskan oleh firman
Allah QS Ali-‘Imran ayat 14 yang menyatakan perempuan sebagai salah satu
syahwat yang dicintai manusia sebelum yang lainnya.
Seperti contoh bukti dari kisah sahabat
Nu’man bin Basyir yang menceritakan bahwa laki-laki lebih mencintai istrinya
dibandingkan kepada anaknya.
Begitu pula dengan pernyataan dari Ulama
terkenal asal India bernama Abdurrahman Al-Mubarakfuri. Beliau menyatakan,
secara alamiah, laki-laki memiliki ketertarikan kepada Perempuan.
Oleh sebab itu, kadang kala laki-laki
rela melakukan perkara haram karena perempuan. Hal inilah yang membuat
Abdurrahman beranggapan bahwa perempuan adalah fitnah yang paling membahayakan
atas laki-laki.
Pernyataan dan pendapat yang dilontarkan
oleh para ulama di atas kemudian menjadi dasar pemikiran kuat yang akhirnya
mempercayai bahwa perempuan adalah sumber fitnah.
Hal ini berimbas pada tumbuhnya persepsi
masyarakat yang menisbatkan gelar “shalihah” dari kehidupan seorang perempuan.
Semakin tertutup akses kehidupan perempuan, maka diasumsikan semakin “shalihah”
pula Ia.
Dialektika Pemikiran Taqiyyuddin
As-Subki
Namun, di samping banyaknya pernyataan
para Ulama dengan penafsirannya yang sama, terdapat pendapat lain. Pendapat ini
bersumber dari Ulama asal Mesir abad ke 13 hingga 14 Masehi, Taqiyyuddin
As-Subki.
Ulama besar ahli hadis dari Madzhab
Syafi’i ini memaknai hadis di atas dengan merujuk pada isyarat kerugian dan
nasib buruk yang ditimbulkan apabila berselisih karena perempuan.
Berbanding terbalik dengan sebelumnya,
Taqiyyuddin justru memberikan pemahaman dampak dari sebuah perbuatan yang
dilakukan apabila tidak berhati-hati. Taqiyyuddin meyakini bahwa
menyangkutpautkan sebab akibat pada sebuah kejadian adalah hal yang dilarang
oleh Syari’at Islam. Maka dari itu, mempercayai bahwa perempuan adalah sumber
fitnah dan penyebab nasib buruk merupakan perbuatan yang tidak tepat.
Pemikiran Taqiyyuddin As-Subki ini
kemudian diikuti oleh Anggota Majelis Tarjih dan Tajdid (MTT) Pimpinan Pusat
(PP) Muhammadiyah, Lailatis Syarifah. Ia mencoba mengupas dalil-dalil yang
berhubungan secara komprehensif. Karena menurutnya, menghukumi suatu hal tidak
bisa hanya berpegang pada satu atau dua dalil saja.
Menelisik pada ajaran inti Islam
mengenai persoalan ini, Allah berfirman pada QS: At-Taubah ayat 71. Allah
memerintahkan baik laki-laki maupun perempuan agar saling menolong dalam hal
kebaikan dan mencegah kemungkaran.
Makna kalimat saling menolong pada ayat
ini menurut Lailatis Syariah mengarah pada tindakan kerja sama yang memiliki
makna kesalingan atau timbal balik. Kedudukan amaliah antara perempuan dan
laki-laki dinilai setara.
Oleh karena itu, bagaimana perempuan
bisa bekerja sama dalam hal kebaikan apabila eksistensinya diyakini sebagai
sumber fitnah.
Pendapat ini juga diperkuat dengan
firman Allah QS: An-Nur ayat 30 dan 31 yang memaparkan bahwa masing-masing dari
laki-laki dan perempuan memiliki potensi ketertarikan. Bahkan, apabila
ditelisik lebih detail, hadits yang menjadi argumentasi dalil tersebut
sejatinya diperuntukkan bagi laki-laki, bukan perempuan.
Hadits dari Usamah bin Zaid di awal
dinilai sebagai peringatan dan pengingat bagi bagi laki-laki atas tabiat
naluriahnya dalam hal ketertarikan terhadap perempuan. Tabiat ketertarikan yang
tidak dijaga kemungkinan besar akan menimbulkan kerugian bagi dirinya sendiri
dan khalayak luas.
Dengan begitu, agar tidak menjadi
fitnah, sudah sepatutnya bagi laki-laki untuk menjaga pandangannya dan bagi
perempuan untuk menutup auratnya.
Peran Perempuan di Ranah Publik pada
Zaman Kenabian
Memetik ibrah kenabian, Rasulullah SAW
pada masanya tidak pernah menutup akses perempuan di ranah publik. Seperti
halnya dengan Sayyidah ‘Aisyah yang memiliki peran penting pada zaman kenabian.
Beliau merupakan salah satu perawi hadits terbanyak yang telah meriwayatkan
lebih dari dua ribu hadits. Maka, apabila Sayyidah Aisyah menutup dirinya dari
ranah publik, dapat dipastikan akan banyak sekali hadits yang tidak
tersampaikan.
Di samping kisah Sayyidah Aisyah, peran
perempuan di zaman kenabian juga diperkuat dengan Asma’ binti Abu Bakar. Ia
juga dikenal sebagai sahabat Nabi yang paling terpelajar, memiliki integritas,
ketabahan, dan keberanian yang tinggi. Pada saat perang Yarmouk melawan
Bizantium, Ia ikut serta berpartisipasi dengan Muslimah lainnya.
Berdasarkan pemaparan di atas kita bisa
memahami bahwa pemaknaan kata “shalihah” yang semula rancu karena mengarah pada
menutup diri, kini menjadi jelas. Kata “Shalihah” bukan bermakna perempuan
muslim yang menutup diri dan menutup akses kehidupannya karena takut menjadi
sumber fitnah. Lebih luas, makna kata “shalihah” kaitannya adalah pada
amaliahnya, baik lahir maupun batin.
Kesimpulan
Analisis mendalam pada ayat Al-Qur’an,
hadits, dan kisah kenabian ini alhasil mematahkan persepsi sosial bahwa
perempuan adalah sumber fitnah. Hadits dari Usamah bin Zaid dinilai ulama
sebagai hadits yang diperuntukkan bagi laki-laki dan menjadi pengingat baginya.
Tabiat naluriah laki-laki dalam hal
ketertarikan terhadap perempuan menjadi hal yang perlu dikendalikan agar tidak
menimbulkan mafsadah bagi dirinya sendiri maupun banyak orang.
Dengan demikian, hadits pengingat ini
tidak serta merta menjadi alasan perempuan kehilangan hak dan aksesnya di ranah
publik, mengingat laki-laki dan Perempuan juga berkewajiban dalam misi Amar
Ma’ruf Nahi Munkar.
Maka dari itu, jalan tengah dalam
menyikapinya yakni saling menjaga pandangan dan menutup aurat antara laki-laki
dan perempuan.
(Redaksi)