LPKAPNEWS, YOGYAKARTA – Masjid
Islamic Center Universitas Ahmad Dahlan (UAD) menggelar Kajian Ahad Pagi yang
dipimpin oleh Wakil Ketua PWM DI Yogyakarta, Riduwan. Ia mengajak jemaah untuk
merenungi makna kebahagiaan (falah) dalam perspektif Islam, khususnya melalui
semangat memberi yang menjadi inti ayat tersebut.
Riduwan memulai kajian
dengan membacakan Surah Ar-Rum ayat 38: “Maka berikanlah kepada kerabat dekat
haknya, demikian pula kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan.
Itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang menghendaki wajah Allah, dan mereka
itulah orang-orang yang beruntung (muflihun).”
Dalam penjelasannya,
ia menegaskan bahwa kebahagiaan sejati tidak hanya bergantung pada harta,
tetapi pada kemampuan untuk berbagi kepada mereka yang berhak, seperti kerabat
dekat (dzawil qurba), orang miskin, dan musafir.
Riduwan menyoroti
anggapan umum bahwa harta menjamin kebahagiaan. “Apakah orang kaya pasti
bahagia? Atau orang miskin pasti tidak bahagia? Belum tentu,” ujarnya. Ia
menjelaskan bahwa meskipun harta dapat mempermudah pencapaian kebahagiaan,
kebahagiaan sejati bergantung pada kepuasan jiwa dan kedekatan dengan Allah.
Dalam konteks ekonomi
Islam, falah diartikan sebagai pemenuhan kebutuhan jasmani dan rohani, dunia
dan akhirat. Ia juga mengkritik pandangan yang menyamakan hisab di akhirat
dengan perhitungan manual manusia.
“Teknologi malaikat
jauh lebih canggih. Semua harta kita, di mana saja, sudah tercatat, termasuk
yang dizakati dan yang belum,” katanya, menegaskan bahwa alasan harta banyak
membuat hisab lebih lama tidaklah relevan.
Semangat
Memberi sebagai Sumber Kebahagiaan
Mengacu pada ayat yang
dibahas, Riduwan menekankan bahwa kebahagiaan sejati justru muncul dari
semangat memberi. “Memberi itu lebih mulia daripada menerima. Diberi mungkin
terasa enak, tapi sesungguhnya menjadi penerima itu menyakitkan hati,” ujarnya,
mengenang pengalamannya sebagai penerima santunan saat masih mahasiswa.
Ia mengutip hasil
survei di Amerika yang menunjukkan bahwa 83% responden merasa bahagia saat bisa
membantu orang lain, meskipun budaya kapitalis dan individualis mendominasi di
sana.
“Kalau di Amerika saja
semangat memberi membuat bahagia, apalagi kita sebagai muslim harusnya 100%
merasa bahagia saat memberi,” tambahnya dengan nada jenaka.
Riduwan menjelaskan
bahwa dzawil qurba tidak hanya merujuk pada kerabat secara nasab, tetapi juga
secara sosial, seperti tetangga. “Tetangga dekat adalah saudara kita. Mereka
yang pertama kali merasakan suka duka kita,” katanya.
Ia menekankan
pentingnya mengutamakan zakat dan bantuan untuk mereka yang berada di sekitar
kita sebelum membantu yang jauh. “Jangan sampai kita mendekati yang jauh, tapi
yang dekat masih membutuhkan,” pesannya.
Ia juga mengingatkan
bahwa harta anak sesungguhnya juga milik orang tua. “Kalau anak kaya, orang tua
jadi raja, bukan pembantu,” katanya, menyentil fenomena anak yang lalai
terhadap orang tua. Riduwan berbagi pengalaman pribadi merawat mertuanya selama
hampir lima tahun, menunjukkan bahwa dawil qurba adalah tanggung jawab moral
yang besar.
Dalam konteks orang
miskin (wal miskina), Riduwan mengingatkan bahwa ada orang miskin yang tidak
meminta karena malu, namun mereka tetap berhak atas bantuan. Ia menyarankan
agar pemberian tidak hanya bersifat sementara, tetapi mampu mengangkat
kemiskinan, seperti melalui program pemberdayaan ekonomi.
Ia menyebutkan
inisiatif PWM DI Yogyakarta yang sedang mendata 21 penjual angkringan untuk
diberdayakan secara ekonomi, sosial, dan keagamaan, dengan target menjadikan
mereka pemberi dalam beberapa tahun.
Riduwan juga
mengusulkan agar masjid didesain sebagai tempat yang ramah bagi musafir, bahkan
dengan pintu yang selalu terbuka. “Masjid harus melayani semua, termasuk
musafir, bahkan orang yang dianggap ‘aneh’ sekalipun,” katanya, sembari
menceritakan pengalaman lucu tentang seorang pengunjung masjid yang tak biasa.
Riduwan menutup kajian
dengan pesan bahwa spirit of giving adalah kunci kebahagiaan sejati. “Memberi
membuat kita bahagia, bukan saat diberi. Mari kita kembangkan semangat ini,
mulai dari dawil qurba, orang miskin, hingga musafir,” pungkasnya., (Sumber
Muhammadiyah Or Id)