LPKAPNEWS, YOGYAKARTA – Anggota Majelis Pustaka dan
Informasi Pimpinan Wilayah Muhammadiyah DIY, Arif Rahman, menekankan pentingnya
hubungan harmonis antara pemimpin dan rakyat berdasarkan nasihat Rasulullah
SAW.
Dalam ceramah yang disampaikan pada Ahad (20/07) di
Masjid Islamic Center Universitas Ahmad Dahlan (UAD), Yogyakarta, ia mengutip
hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, “Khiyārukum a’immatukum alladzīna tuḥibbūnahum
wa-yuḥibbūnakum,” Arif menjelaskan bahwa sebaik-baik pemimpin adalah mereka
yang dicintai rakyatnya dan mencintai rakyatnya.
Dalam pemaparannya, Arif menyoroti bahwa hubungan antara
pemimpin dan rakyat sering kali hanya terjalin erat menjelang pemilu, ketika
pemimpin mendadak memperhatikan kebutuhan masyarakat, seperti pembangunan
jembatan atau pasar.
Namun, ia menegaskan bahwa menurut ajaran Rasulullah,
hubungan ini harus dibangun atas dasar cinta dan kebersamaan yang konsisten,
bukan hanya pada saat-saat strategis.
“Pemimpin dan rakyat harus terhubung dengan rasa cinta.
Rasa cinta ini bisa ditumbuhkan, salah satunya, melalui doa,” ujarnya.
Arif mengingatkan jemaah untuk tidak egois dalam berdoa,
seperti hanya memikirkan kebutuhan pribadi tanpa mendoakan pemimpin atau
komunitas sekitar, seperti ketua RT atau RW. Ia menekankan bahwa peran ketua
RT, meski tanpa gaji, sangat penting dalam menjaga stabilitas lingkungan.
“CCTV terbaik adalah tetangga dan ketua RT. Tanggung
jawab moral kita sebagai rakyat adalah mendukung pemimpin dengan doa dan
kontribusi positif,” katanya.
Mengacu pada hadis lain, “Kullukum rā‘in wa-kullukum
mas’ūlun ‘an ra‘iyyatihi,” Arif menegaskan bahwa setiap individu adalah
pemimpin, setidaknya atas dirinya sendiri. Ia mengajak jemaah untuk mengontrol
diri, terutama di era digital, di mana jejak digital seseorang dapat
mencerminkan akhlaknya.
“Anggota tubuh kita akan melaporkan perbuatan kita di
akhirat. Jari-jari kita di dunia digital juga bisa meninggalkan jejak yang
mengerikan jika tidak dikendalikan,” tegasnya.
Arif juga menyentuh sejarah kepemimpinan Islam, khususnya
periode Khulafaur Rasyidin: Abu Bakar (2 tahun), Umar (10 tahun), Utsman (11
tahun), dan Ali (6 tahun). Ia menjelaskan bahwa pemilihan khalifah dilakukan
melalui musyawarah, bukan kompetisi penuh intrik seperti yang sering terjadi
saat ini.
“Musyawarah para sahabat menunjukkan bagaimana
kepemimpinan harus bebas dari kepentingan pribadi,” ungkapnya.
Lebih lanjut, Arif menyebut dua syarat utama seorang
pemimpin menurut ajaran Islam: amanah dan adil. Ia mengutip Al-Qur’an, “Wa-idhā
ḥakamtum bayna al-nāsi an taḥkumū bi-al-‘adl,” yang menekankan pentingnya
keadilan dalam membuat kebijakan.
“Keadilan bukan berarti sama rata, tetapi memenuhi
kebutuhan masyarakat secara proporsional, seperti memperhatikan daerah
tertinggal atau terluar,” jelasnya.
Sementara itu, amanah mencerminkan tanggung jawab
pemimpin untuk mengutamakan kepentingan umum, bukan hanya kelompok tertentu.
Arif juga mengkritik fenomena krisis moral di masyarakat,
seperti kasus penjarahan barang dari kendaraan kecelakaan, yang menunjukkan
perlunya pendidikan untuk meningkatkan kesadaran moral. Ia menyebut pendidikan,
termasuk melalui majelis taklim, sebagai investasi untuk melahirkan pemimpin
dan masyarakat yang bijaksana.
“Orang berhikmah akan mempertimbangkan manfaat dan
mudarat dari setiap tindakan. Pendidikan membuka cara berpikir dan mendewasakan
kita,” paparnya.
Mengakhiri ceramahnya, Arif mengajak jemaah untuk menjadi
pribadi yang bermanfaat, sebagaimana sabda Rasulullah, “Khayru al-nāsi
anfa‘uhum li-al-nāsi” (Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi
orang lain).
Ia menegaskan bahwa kesejahteraan masyarakat tidak hanya
bergantung pada pemimpin, tetapi juga pada kebaikan rakyatnya. “Pemimpin yang
baik harus diimbangi oleh rakyat yang baik. Bersama-sama, kita ciptakan
stabilitas dan keadilan,” pungkasnya.
Editor, Angcel
Sumber, Muhammadiyah Or Id