LPKAPNEWS, SURAKARTA – Wakil Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid
Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Muhammad Fattah Santoso, memaparkan gagasan
pengembangan ilmu hukum dalam perspektif tarjih.
Paparan tersebut ia
sampaikan dalam acara Focus Group Discussion (FGD) bertajuk “Pemikiran Hukum
Muhammadiyah” di Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), pada Jumat (04/07).
Dalam presentasinya,
Fattah menekankan pentingnya pendekatan berbasis wahyu dengan metode ilmiah
untuk menghasilkan ilmu hukum yang tidak hanya positif, tetapi juga profetik.
Yakni hukum yang berlandaskan nilai-nilai universal seperti tauhid, akhlak mulia,
kemaslahatan, keadilan, dan persaudaraan.
Untuk mencapai hal
tersebut, Fattah menjelaskan bahwa Muhammadiyah dapat mengedepankan tiga asumsi
utama dalam manhaj tarjih terbaru yang dirumuskan di Pekalongan tahun 2024,
yaitu asumsi integralistik, hierarkis, dan kebermaksudan (bertujuan).
Menurut Fattah,
pendekatan hierarkis dalam manhaj tarjih menekankan adanya jenjang norma dalam
pengambilan hukum. Berbeda dengan pendekatan ulama terdahulu yang langsung
memutuskan hukum halal atau haram, Muhammadiyah mengembangkan metode yang lebih
sistematis.
Hukum cabang (furu’)
didasarkan pada prinsip-prinsip umum (al-usul al-kulliyah) dan nilai-nilai
dasar (al-qiyam al-asasiyah) yang bersifat abstrak. Nilai-nilai dasar ini,
seperti tauhid, akhlak, kemaslahatan, keadilan, persamaan, dan persaudaraan,
menjadi payung utama yang membimbing pengembangan ilmu hukum.
“Ilmu hukum yang
dikembangkan Muhammadiyah harus berpijak pada nilai-nilai universal yang
bersumber dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Tauhid, misalnya, menegaskan pengakuan
terhadap wahyu sebagai sumber hukum, sehingga ilmu hukum yang dihasilkan bukan
positivisme semata, melainkan bersifat profetik,” ungkap Fattah.
Fattah juga menyoroti
asumsi kebermaksudan, yang menegaskan bahwa setiap norma syariat mengandung
maksud dan tujuan untuk mewujudkan kemaslahatan bagi manusia, baik di dunia
maupun akhirat. Dalam manhaj tarjih, kebermaksudan ini dibagi menjadi tiga
cakupan: norma umum (maqasid syariah al-ammah), norma parsial (al-juz’iyah),
dan norma partikular (al-khasah).
Sebagai contoh,
maqasid syariah al-ammah mencakup esensi keseluruhan ketentuan syariah, seperti
memelihara agama (hifzuddin), jiwa (hifzun nafs), akal (hifzul aql), keturunan
(hifzun nasl), dan harta (hifzul mal).
Secara hierarkis,
kebermaksudan dibagi menjadi tiga tingkatan: daruriat (kebutuhan esensial),
hajiyat (kebutuhan primer), dan tahsiniat (kebutuhan komplementer). Daruriat
mencakup kepentingan yang harus ada untuk menjaga tatanan hidup manusia,
seperti keadilan dan persamaan. Hajiyat memastikan kehidupan manusia berjalan
normal, sementara tahsiniat membuat hidup lebih indah, misalnya melalui pakaian
atau kendaraan yang lebih baik.
Fattah menegaskan
bahwa ilmu hukum dalam Islam harus bermanfaat, sebagaimana prinsip “ilmun nafi”
(ilmu yang bermanfaat).
“Dalam filsafat ilmu
Islam, tidak dikenal konsep ‘science for the sake of science’. Ilmu harus
memiliki nilai guna untuk kebaikan manusia di dunia dan akhirat,” tegasnya,
merujuk pada manhaj tarjih yang menekankan perintah, larangan, dan petunjuk
syariat untuk kemaslahatan umat.
Karakteristik
Ilmu Hukum Muhammadiyah
Dalam pengembangan
ilmu hukum, Fattah memaparkan tiga karakteristik utama yang diadopsi dari
keputusan Majelis Tarjih tahun 2000: mura’ah (konservasi), tahdisi (inovasi),
dan ibda’i (kreasi).
Mura’ah berfokus pada
pelestarian nilai-nilai dasar wahyu melalui pemurnian ajaran, terutama dalam
akidah dan ibadah. Tahdisi mencakup penyempurnaan ajaran Islam melalui
reaktualisasi, reinterpretasi, atau revitalisasi untuk menjawab kebutuhan
masyarakat sesuai perkembangan sosial. Sementara itu, ibda’i mengarah pada
penciptaan rumusan hukum Islam yang kreatif dan konstruktif untuk menangani
permasalahan aktual.
“Jika ushul fikih yang
ada sudah tidak relevan, maka diperlukan rekonstruksi melalui pendekatan
ibda’i. Ini adalah langkah lebih jauh dari inovasi, untuk menciptakan solusi
hukum yang sesuai dengan zaman,” jelas Fattah.
Sebagai contoh
penerapan, Fattah menyebutkan Fikih Perlindungan Anak, yang tidak hanya relevan
dalam kerangka Islam, tetapi juga dalam hukum positif. Pendekatan berjenjang
ini memungkinkan Muhammadiyah untuk merumuskan hukum yang responsif terhadap
isu-isu kontemporer, seperti perlindungan anak, keuangan, atau perkawinan.
FGD ini menjadi forum
penting untuk memperkuat wacana ilmu hukum Muhammadiyah yang berpijak pada
nilai-nilai profetik sekaligus relevan dengan tantangan zaman. Fattah berharap
diskusi ini dapat menginspirasi pengembangan ilmu hukum di Indonesia yang tidak
hanya berbasis wahyu, tetapi juga mampu menjawab kebutuhan masyarakat secara
praktis dan bermakna.
Acara yang dihadiri
oleh akademisi, praktisi hukum, dan tokoh Muhammadiyah ini ditutup dengan
diskusi interaktif, yang membahas bagaimana ilmu hukum Muhammadiyah dapat terus
diperkuat dan diimplementasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Editor, Angcel
Sumber, Muhammadiyah
Or Id)