LPKAPNEWS - Apa arti ranting dalam Muhammadiyah? Bagi sebagian orang ia mungkin kecil, tapi sejatinya ranting adalah akar yang menyalurkan kehidupan bagi seluruh pohon persyarikatan. Tanpa ranting, cabang tidak akan kuat. Tanpa ranting, wilayah akan rapuh. Tanpa ranting, pusat hanya menjadi menara gading. Ranting adalah ruang pertama tempat warga mengenal Muhammadiyah: dari masjid kampung, TPA, pengajian keluarga, hingga kegiatan sosial sederhana. Di sanalah anak-anak belajar mengaji, remaja berlatih kepemimpinan, dan pemuda menempa militansi. Karena itu, ranting harus menjadi pusat kaderisasi. Dari rantinglah kader Muhammadiyah lahir, tumbuh, dan bergerak.
Ranting:
Fondasi Muhammadiyah Sejak Awal
Sejarah Muhammadiyah sendiri membuktikan pentingnya basis. KH Ahmad Dahlan
memulai dakwah dari jamaah kecil di Kauman, Yogyakarta. Dari sana, ajaran Islam
berkemajuan berkembang, menyebar ke berbagai daerah, lalu melahirkan
ranting-ranting Muhammadiyah di seluruh penjuru negeri. Ranting bukan sekadar
struktur administratif, bukan pula hanya tanda bahwa organisasi ada di desa
atau kelurahan. Lebih dari itu, ranting adalah sekolah kader yang paling
membumi. Di rantinglah kader pertama kali belajar memahami Al-Qur’an,
berorganisasi, dan bekerja untuk masyarakat.
Banyak tokoh Muhammadiyah besar lahir dari ranting yang
sederhana. Dari musala kecil, dari pengajian remaja, atau dari kegiatan sosial
di kampung. Inilah bukti nyata bahwa ranting adalah jantung basis gerakan.
Mengapa Ranting Harus Jadi Pusat Kaderisasi
Ada tiga alasan utama mengapa ranting harus ditempatkan sebagai pusat kaderisasi:
1. Dekat dengan jamaah dan masyarakat. Ranting menjangkau umat secara langsung. Kader yang lahir dari ranting lebih mengenal realitas masyarakat, lebih membumi, dan lebih peka terhadap problem umat.
2. Membentuk kader tahan banting. Proses kaderisasi di ranting membuat kader
tidak manja. Mereka terbiasa menghadapi keterbatasan, belajar berjuang dengan
sumber daya seadanya, dan tetap militan.
3. Menjamin regenerasi berjenjang. Jika ranting kuat,
cabang, daerah, wilayah, bahkan pusat akan kokoh. Tapi jika ranting lemah,
rantai kaderisasi akan terputus.
Analogi sederhana: ranting adalah akar pohon. Pohon
sebesar apa pun tidak akan bertahan jika akarnya kering. Begitu pula
Muhammadiyah, sebesar apa pun amal usahanya tidak akan bermakna jika ranting
tidak hidup. Itulah kenapa seluruh Pimpinan, anggota, karyawan AUM, Ortom wajib
untuk aktif diranting.
Tantangan Kaderisasi di Ranting
Meski vital, realitas di lapangan menunjukkan bahwa banyak ranting menghadapi tantangan serius:
· Dianggap kecil dan kurang bergengsi. Banyak kader lebih tertarik berkiprah di cabang, daerah atau wilayah, sementara ranting sepi perhatian.
· Minim kaderisasi berjenjang. Tidak semua ranting memiliki sistem kaderisasi yang rapi.
· Ketergantungan pada figur. Ada ranting yang hanya hidup karena tokoh tertentu. Ketika tokoh itu wafat atau pasif, ranting pun mati suri.
· Kurangnya dukungan dari
Cabang/Daerah/wilayah. Ranting sering jalan sendiri tanpa bimbingan dan
penguatan dari struktur di atasnya.
Jika tantangan ini tidak diatasi, ranting hanya akan
tinggal nama. Padahal ranting adalah akar kehidupan organisasi.
Strategi Menghidupkan Kaderisasi Ranting
Ada beberapa langkah strategis agar ranting kembali menjadi pusat kaderisasi:
1. Penguatan instruktur di basis. Instruktur harus turun ke ranting, membina, dan menemani kader berproses. Bukan hanya memberi materi, tapi juga mendampingi secara berkelanjutan.
2. Program kaderisasi yang membumi. Bentuk kegiatan yang dekat dengan kehidupan masyarakat: TPA, pengajian keluarga, kegiatan remaja masjid, atau Baitul Arqam ranting. Dari aktivitas sederhana itulah kader tumbuh.
3. Kolaborasi Ortom di ranting. IRM, NA, Pemuda Muhammadiyah, dan ‘Aisyiyah Ranting harus saling menopang. Ranting hidup jika semua ortom bergerak bersama.
4. Regenerasi kepemimpinan. Pimpinan ranting harus memastikan regenerasi
berjalan. Jangan sampai ranting berhenti karena hanya dipegang satu atau dua
orang.
5. Digitalisasi sederhana. Ranting perlu memanfaatkan
media sosial untuk publikasi, komunikasi, dan dokumentasi. Hal ini membuat
kaderisasi lebih relevan dengan generasi muda.
Inspirasi dari Lapangan
Saya sendiri pernah merasakan bagaimana ranting menjadi kawah candradimuka
kader. Saya pernah menjadi ketua umum Pimpinan Ranting IRM, ketua umum Pimpinan
Komisariat IMM dan ketua Pimpinan Ranting Pemuda Muhammadiyah. Dan saya juga
pernah sebagai Wakil Ketua Pimpinan Ranting Muhammadiyah. Dari ranting saya
belajar berorganisasi, mengelola kegiatan sederhana, hingga memimpin orang
lain. Dari pengajian kecil di masjid, diskusi diteras masjid, lahirlah
militansi yang membawa saya hingga ke tingkat wilayah dan Nasional.
Di Sumatera Utara, saya melihat ranting yang sederhana
mampu melahirkan kader luar biasa. Gerakan penguatan idiologi akan semakin
terasa ketika dipimpin oleh mereka yang pernah diranting. Dari kegiatan
pengajian, dan dari diskusi kecil diteras masjid lahirlah aktivis IRM, IMM,
hingga Pemuda Muhammadiyah. Bahkan ada yang kemudian menjadi pimpinan cabang,
daerah dan wilayah. Ini membuktikan, ranting bukan tempat kecil, tapi tempat
lahirnya pemimpin masa depan.
Ranting memang tampak kecil, tapi sejatinya ranting
adalah denyut kehidupan Muhammadiyah. Dari rantinglah lahir kader ideologis,
pemimpin berjiwa sosial, dan generasi penerus persyarikatan.
Jika kita ingin Muhammadiyah tetap kuat hingga ratusan
tahun ke depan, jawabannya sederhana: hidupkan ranting, kuatkan kaderisasi di
akar. Untuk para pimpinan, jangan lupakan ranting. Untuk para kader muda,
jangan malu berproses di ranting. Untuk para karyawan Amal Usaha Muhammadiyah
mari aktif diranting. Sebab di rantinglah sekolah kepemimpinan sejati itu
berada. Wallahu a’lam Bish Shawab
Sumber, Amrizal, S.Si., M.Pd. – Wakil Ketua MPKSDI
PWM Sumatera Utara/Dosen Unimed