LPKAPNEWS, YOGYAKARTA –
Dalam pengajian Tarjih yang digelar oleh Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan
Pusat Muhammadiyah pada Rabu (18/06), Anggota Majelis Asep Sholahudin
menegaskan pentingnya memahami dan mempraktikkan tawasul sesuai ajaran
Al-Qur’an dan hadis.
Asep memaparkan bahwa
tawasul yang disyariatkan harus berlandaskan pada dalil yang sahih, seperti
menggunakan asmaul husna, amal saleh, atau meminta doa dari orang saleh yang
masih hidup. Ia juga memperingatkan bahwa praktik tawasul yang melibatkan orang
yang sudah meninggal, seperti meminta pertolongan di makam, dapat mengarah pada
perbuatan syirik, yang merupakan dosa besar dalam Islam.
Asep menjelaskan bahwa
istilah tawasul berkaitan erat dengan konsep wasilah, sebagaimana disebutkan
dalam Al-Qur’an, Surah Al-Maidah ayat 35: “Wabtaghu
ilaihil wasilata” (carilah
sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah). Ayat ini menjadi landasan utama
yang menegaskan bahwa setiap muslim diperintahkan untuk mencari jalan mendekat
kepada Allah dengan cara yang sesuai syariat.
Namun, Asep
mengungkapkan bahwa hingga kini, Muhammadiyah belum memiliki buku khusus yang
membahas tawasul secara mendalam. Oleh karena itu, pembahasan dalam pengajian
ini lebih menitikberatkan pada rujukan primer, yaitu Al-Qur’an dan hadis, serta
interpretasi yang sesuai dengan manhaj tarjih Muhammadiyah.
Asep memaparkan bahwa
tawasul yang disyariatkan memiliki beberapa bentuk. Pertama, berdoa dengan
menyebut asmaul husna, sebagaimana dianjurkan dalam Surah Al-A’raf ayat
180: “Walillahil asmaul husna fad’u biha” (Allah memiliki nama-nama yang indah,
berdoalah dengan nama-nama tersebut). Dalam praktiknya, seorang muslim
dianjurkan menyebut nama Allah yang relevan dengan doa yang dipanjatkan,
misalnya “Ya Razzaq” untuk memohon rezeki atau “Ya Ghaffar” untuk meminta
ampunan.
Kedua, tawasul dapat
dilakukan melalui amal saleh yang menjadi ciri khas seseorang. Asep
mencontohkan kisah tiga orang yang terkurung dalam gua, sebagaimana
diriwayatkan dalam hadis, yang doanya dikabulkan berkat amal saleh
masing-masing, seperti membantu orang lain atau menjaga keimanan.
Ketiga, tawasul dapat
dilakukan dengan meminta doa dari orang saleh yang masih hidup, seperti memohon
doa dari seorang ustaz atau kiai untuk keberhasilan suatu hajat. Namun, ia
menegaskan bahwa meminta doa dari orang yang sudah meninggal, termasuk di makam
wali atau ulama, tidak dibenarkan karena bertentangan dengan ajaran tauhid.
Asep juga menyoroti
fenomena di masyarakat, di mana praktik tawasul sering kali bercampur dengan
tradisi yang tidak memiliki dasar syariat. Salah satu contohnya adalah ziarah
kubur yang disertai permintaan pertolongan kepada orang yang sudah meninggal. Ia
menjelaskan bahwa ziarah kubur diperbolehkan untuk mendoakan, bukan meminta
doa, sebagaimana praktik yang diajarkan Rasulullah SAW.
“Kewajiban kita
terhadap orang yang sudah meninggal adalah mendoakan, bukan meminta
pertolongan, karena itu mustahil,” tegasnya. Ia juga memperingatkan bahwa
praktik semacam ini, meskipun tampak sederhana, dapat mengarah pada syirik
besar (syirkul akbar), yang
membahayakan akidah seorang muslim.
Dalam sesi tanya
jawab, seorang peserta mengangkat isu tentang pandangan ulama di luar
Muhammadiyah yang menganggap tawasul kepada orang meninggal sebagai praktik
yang diperbolehkan, meskipun tanpa dalil yang sahih.
Menanggapi hal ini,
Asep menyebutkan bahwa fenomena tersebut sering kali muncul akibat sikap taklid
buta, di mana umat menerima ajaran tanpa memverifikasi kebenarannya. Ia
menegaskan bahwa Muhammadiyah mendorong sikap ittiba, yaitu mengikuti ajaran yang memiliki dasar
Al-Qur’an dan hadis yang sahih, serta menghindari taklid yang dapat
menyesatkan.
Pertanyaan lain dari
peserta daring menyinggung soal bershalawat kepada Nabi Muhammad SAW, yang
kadang dianggap sebagai bentuk tawasul kepada orang yang sudah wafat.
Asep menjelaskan bahwa
shalawat adalah ibadah yang disyariatkan dan memiliki dalil jelas, seperti
perintah Allah dalam Surah Al-Ahzab ayat 56. Shalawat berbeda dengan meminta
pertolongan dari orang meninggal, karena tujuannya adalah memohon syafaat dan keberkahan,
bukan menjadikan Nabi sebagai perantara langsung dalam doa.
Melalui pengajian ini,
Muhammadiyah berharap umat dapat memahami tawasul dengan lebih baik dan
menerapkannya sesuai syariat. Asep menekankan pentingnya literasi keagamaan
untuk menghindari penyimpangan akidah, terutama dalam isu sensitif seperti
tawasul., (Muhammadiyah Or Id)