LPKAPNEWS - Kalender Hijriah Global Tunggal (KHGT) merupakan salah satu usaha modern untuk menyatukan umat Islam dalam kerangka waktu yang seragam. Namun, gagasan ini tidak luput dari kritik. Muhammadiyah begitu menyambut baik setiap kritikan yang ada.

Salah satu kritiknya ialah karena KHGT dianggap memaksa wilayah tertentu memasuki bulan baru meski hilal belum terlihat, atau menunda wilayah lain yang telah melihat hilal demi keseragaman global, terutama saat hilal masih di bawah ufuk di wilayah timur.

Kritik semacam ini sering kali berpijak pada paradigma rukyat lokal, di mana ketampakan hilal secara fisik menjadi syarat mutlak masuknya bulan baru. Di sisi lain, KHGT mengedepankan pendekatan global yang berpijak pada realitas astronomi dan keseragaman matlak. Karena itu, perbedaan pendekatan ini berakar pada perbedaan cara pandang dalam memahami dalil-dalil syar’i dan fenomena langit.

Dalam pemahaman tradisional, hilal yang definitif adalah bulan sabit yang berada di atas ufuk dan dapat dilihat secara fisik atau setidaknya memenuhi ambang batas tertentu. Namun, literatur fikih klasik, yang banyak membahas matlak global atau penentuan awal bulan secara umum, tidak selalu menjelaskan aspek saintifik secara rinci. 

Hal ini menjadikan isu ini urgen untuk dijelaskan, terutama untuk menjawab keraguan mereka yang masih berpegang pada rukyat lokal dan ketampakan fisik hilal. Berdasarkan paparan pakar falak Muhammadiyah Arwin Juli Rakhmadi Butar-butar, argumen saintifik untuk menjawab kritik ini dapat dirangkum dalam tiga poin utama:

Fase Bulan sebagai Fenomena Global

Fase-fase bulan, termasuk hilal, adalah fenomena global, sedangkan ketampakan hilal bersifat lokal. Artinya, meskipun hilal tidak terlihat di suatu wilayah karena posisinya di bawah ufuk, hilal tetap eksis secara astronomis setelah terjadinya konjungsi (ijtima’). Firman Allah dalam QS. Yasin (36):39 menyebutkan:

وَالْقَمَرَ قَدَّرْنَاهُ مَنَازِلَ حَتَّىٰ عَادَ كَالْعُرْجُونِ الْقَدِيمِ

“Dan telah Kami tetapkan tempat peredaran bulan sehingga setelah sampai ke tempat peredaran yang terakhir, kembalilah ia seperti tandan tua.”

Konjungsi, sebagai titik akhir siklus bulan, menandakan awal keberadaan hilal, meskipun belum terlihat secara kasat mata. Dengan demikian, hilal yang berada di bawah ufuk tetap dianggap sebagai hilal yang definitif dalam konteks matlak global.

Elongasi dan Dinamika Astronomi

Perubahan fase bulan berkorelasi dengan elongasi, yaitu jarak sudut antara matahari dan bulan, yang dipengaruhi oleh perbedaan kecepatan sudut kedua benda langit tersebut. QS. Yasin (36):40 menegaskan:

لَا الشَّمْسُ يَنبَغِي لَهَا أَن تُدْرِكَ الْقَمَرَ وَلَا اللَّيْلُ سَابِقُ النَّهَارِ ۚ وَكُلٌّ فِي فَلَكٍ يَسْبَحُونَ

“Tidaklah matahari mendahului bulan, tidak pula malam mendahului siang, semua beredar pada porosnya masing-masing.”

Setelah konjungsi, elongasi terus bertambah seiring waktu, sehingga hilal yang awalnya berada di bawah ufuk di suatu wilayah akan terus “membesar” dan menjadi terlihat di wilayah lain. Dalam matlak global, jika imkanu rukyat terpenuhi di satu tempat, maka hilal dianggap eksis secara global, meskipun di wilayah lain posisinya masih di bawah ufuk.

Realitas Geografis dan Praktik Fukaha

Secara alami, posisi hilal di kawasan barat selalu lebih tinggi dibandingkan kawasan timur karena rotasi bumi dan peningkatan elongasi. Fenomena ini telah dipahami oleh para fuqaha, yang menyatakan: “Apabila hilal terlihat oleh penduduk timur, maka hal itu berlaku bagi penduduk barat.”

Prinsip ini mencerminkan pemahaman bahwa keterlihatan hilal di satu wilayah cukup untuk menetapkan awal bulan bagi seluruh umat Islam, sesuai dengan sifat universal hadis-hadis rukyat.

Dari argumen di atas, terlihat bahwa KHGT tidak hanya berpijak pada prinsip syariat, tetapi juga pada realitas saintifik yang menjelaskan fenomena bulan secara global. Pemahaman bahwa hilal di bawah ufuk tetap dianggap sebagai hilal definitif merupakan terobosan dalam mendefinisikan ulang konsep hilal, dari fenomena fisik-lokal menjadi fenomena eksistensial-global.

Pendekatan ini tidak hanya logis, tetapi juga realistis untuk mewujudkan penanggalan Islam yang unifikatif, yang selama 14 abad menjadi “hutang peradaban” umat Islam.

Secara praktis, KHGT mengadopsi matlak global sebagai pendekatan dominan dalam tradisi fikih. Penolakan terhadap matlak global berarti menolak gagasan kalender global itu sendiri, yang dapat menghambat persatuan umat dalam menentukan waktu ibadah.

Selain itu, konjungsi dan siklus sinodis bulan, yang menandakan pergantian bulan setiap 29 atau 30 hari, sesuai dengan sabda Nabi SAW, menjadi dasar ilmiah yang kuat untuk KHGT. Meskipun demikian, KHGT tetap terbuka untuk pengkajian dan kritik konstruktif, karena penyempurnaan adalah bagian dari tradisi keilmuan Islam., (Redaksi)