Quo vadis Muhammadiyah? 

LPKAPNEWS - Muhammadiyah dikenal luas sebagai salah satu organisasi Islam modern terbesar di dunia. Amal usahanya menjulang dari Sabang hingga Merauke: sekolah, rumah sakit, universitas, panti asuhan, dan lembaga-lembaga sosial berdiri megah sebagai monumen pengabdian Persyarikatan kepada umat dan bangsa. Tidak sedikit yang menilai, Muhammadiyah adalah kekuatan sipil yang kaya aset dan kuat dalam infrastruktur dakwah.

Namun di balik kemegahan itu, muncul pertanyaan yang layak direnungkan: Quo vadis Muhammadiyah? Ke mana arah langkah gerakan ini hendak dibawa? Apakah kita masih berjalan di atas ruh awal perjuangan—gerakan tajdid yang memurnikan akidah, mencerdaskan umat, dan menegakkan amar ma’ruf nahi munkar—atau mulai terjebak dalam rutinitas administratif dan simbolik semata?

Sebagaimana sering diingatkan oleh Ketua Umum PP Muhammadiyah, Prof. Haedar Nashir, kekuatan Persyarikatan tidak terletak pada gedung-gedung fisik, melainkan pada manusia-manusia yang berjiwa tajdid. Gedung bisa dibangun dengan modal materi, tetapi membangun manusia memerlukan ruh, keteladanan, dan proses panjang yang konsisten. Di titik inilah tantangan terbesar kita berada.

Kemegahan yang Membungkam Ruh Gerakan

Banyak cabang dan ranting kini disibukkan dengan urusan pembangunan fisik. Masjid, sekolah, dan gedung serbaguna menjadi simbol kebanggaan kolektif. Namun di balik itu, gerakan kaderisasi, pembinaan ideologi, dan dakwah bil hikmah berjalan di tempat. Tidak sedikit pengurus yang merasa lelah, kehilangan arah, bahkan enggan melanjutkan estafet karena minimnya dukungan dan pembinaan.

Dalam satu kesempatan, ketika kami membangun masjid dan asrama santri tahfidz di tingkat ranting, ada yang bertanya, “Berapa persen kontribusi cabang atau daerah?” Kami tidak bisa menjawab. Bukan karena enggan, tetapi karena sistem dukungan belum terbangun dengan solid. Realitas ini menggambarkan jurang antara struktur dan kultur, antara pusat yang kuat dan akar rumput yang terseok-seok bertahan.

Kader: Nafas Panjang Persyarikatan

Muhammadiyah bisa kehilangan segalanya kecuali satu hal: kader yang berjiwa ikhlas, militan, dan berkemajuan. Kaderlah yang menjaga api tajdid tetap menyala, bahkan di tengah keterbatasan. Namun kini, kader seperti itu semakin langka. Banyak kegiatan pengajian dan kajian Persyarikatan sepi jamaah, bukan karena kurangnya semangat beragama, melainkan karena pendekatan dakwah yang kering dari ruh dan tidak membumi.

Sementara sebagian warga Persyarikatan mencari sumber ilmu ke majelis lain yang lebih hidup dan menyentuh, kita justru sibuk berdebat soal label dan istilah. Padahal dalam tradisi Muhammadiyah, mencari ilmu yang sahih adalah bagian dari jihad intelektual. Persoalannya bukan pada siapa yang berbicara, melainkan pada bagaimana dakwah mampu menyapa hati dan pikiran umat.

Refleksi Internal:

Dari Produk ke Produktivitas

Persyarikatan juga menghadapi persoalan di bidang usaha dan ekonomi umat. Banyak produk dari amal usaha—air mineral, mie instan, atau merek-merek sosial-ekonomi—yang berhenti di tahap peluncuran. Tidak menembus pasar, tidak menyentuh akar rumput. Pertanyaannya, apakah masalahnya pada sistem, jaringan distribusi, atau kultur bisnis yang belum matang?

Jika usaha mikro saja belum mapan, bagaimana kita akan mengelola proyek besar seperti tambang atau industri energi yang kompleks? Keilmuan dan jejaring kita memang luas, tetapi tanpa keterampilan praktis dan jiwa wirausaha, sumber daya itu tidak akan menjadi kekuatan nyata.

Berpikir Global, Bertindak Lokal

Muhammadiyah memang ditakdirkan berpikir global, tetapi tindakan riilnya harus berpijak pada realitas lokal. Dakwah di Spanyol, Australia, atau Afrika patut diapresiasi. Namun jangan sampai masyarakat di sekitar ranting dan cabang merasa terabaikan. Sebab ruh gerakan Islam sejati justru tumbuh dari basis lokal—dari masjid, keluarga, dan komunitas yang kecil namun hidup.

Bukankah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam memulai dakwahnya dari rumah, dari sahabat terdekat, sebelum dunia mengenal Islam sebagai rahmat bagi semesta alam? Maka, dakwah yang sejati harus berakar di bumi tempat ia berpijak.

Menata Ulang Prioritas

Kini saatnya Muhammadiyah menata ulang prioritasnya. Pembangunan fisik tetap penting, tetapi membangun ruh dan manusia jauh lebih mendesak. Gedung tanpa kader adalah bangunan kosong; administrasi tanpa ideologi adalah gerak tanpa arah. Regenerasi mesti dibuka dengan lapang dada, memberi ruang bagi kader muda untuk tumbuh dan berkiprah tanpa rasa curiga.

Dan di atas semua itu, keluarga menjadi ladang dakwah pertama. Sebelum mengajak masyarakat luas, ajaklah anak dan istri untuk bergabung dalam Persyarikatan. Karena dakwah yang otentik selalu dimulai dari rumah, dari hati yang paling dekat, sebelum menjalar ke masyarakat dan dunia.

Persyarikatan ini akan terus hidup, bukan karena banyaknya aset atau luasnya pengaruh, melainkan karena kuatnya ruh perjuangan yang diwariskan lintas generasi. Sejarah telah membuktikan, Muhammadiyah besar bukan karena kekayaan, tetapi karena cita-cita yang tidak pernah padam: menegakkan Islam berkemajuan untuk kemaslahatan umat manusia.

> Pertanyaannya kini bukan lagi seberapa besar Muhammadiyah di mata dunia, tetapi seberapa hidup Muhammadiyah dalam diri kita.

Narasumber, Asruri Muhammad Pegiat Dakwah, Ketua PRM Rawa Bambu, Pasar Minggu, Jakarta Selatan