LPKAPNEWS, YOGYAKARTA – Masih banyak masyarakat yang
mengira bahwa kiblat cukup diarahkan ke barat. Padahal anggapan ini tidak
sepenuhnya benar. Akibatnya, tidak sedikit masjid atau mushala yang arah
kiblatnya melenceng beberapa derajat.
Permasalahan ini muncul karena kurangnya pemahaman dan
metode pengukuran yang tepat di tingkat akar rumput.
Menanggapi hal tersebut, Pusat Tarjih Muhammadiyah
Universitas Ahmad Dahlan (UAD) bekerja sama dengan Majelis Tarjih dan Tajdid
Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Daerah Istimewa Yogyakarta menggelar
pelatihan pengukuran arah kiblat dengan metode rashdul kiblat pada
Selasa (15/07).
Kegiatan ini menjadi bagian dari upaya memperkuat edukasi
keislaman dan layanan keumatan Muhammadiyah. Pelatihan ini dilaksanakan
bertepatan dengan fenomena istiwa’ a’dzam, yakni saat matahari berada
tepat di atas Ka’bah.
Momen ini menjadi peluang ideal dan sangat akurat untuk
memverifikasi arah kiblat, hanya dengan mengamati bayangan benda tegak pada
waktu tertentu. Para peserta tidak hanya mendapatkan materi teoritis, tetapi
juga langsung mempraktikkan metode pengukuran secara lapangan.
Ketua Pusat Tarjih UAD, Miftah Khilmi Hidayatulloh, dalam
sambutannya menekankan pentingnya pelurusan pemahaman masyarakat terhadap arah
kiblat. “Masih banyak masyarakat yang berpendapat bahwa kiblat itu cukup
menghadap barat, padahal tidak demikian,” ujarnya.
Ia mengingatkan bahwa meskipun agama tidak membebani
melebihi kemampuan—sebagaimana dalam ayat laa yukallifullahu nafsan illa
wus’aha—tetapi umat tetap dituntut untuk berikhtiar maksimal.
“Jika dalam mengukur arah kiblat meleset 0,1 derajat
saja, itu sudah dianggap menyimpang,” tambahnya.
Salah satu narasumber dalam pelatihan ini adalah Mutoha
Arkanuddin dari Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Ilmu Falak. Ia
mengapresiasi konsistensi penyelenggaraan kegiatan ini yang digelar setiap
tahun. Menurutnya, pelatihan ini penting karena secara langsung berkaitan
dengan ajaran Al-Qur’an.
“Surat Al-Baqarah ayat 144, 149, dan 150 menjelaskan
secara eksplisit perintah menghadap kiblat. Dulu kiblat kita adalah Masjidil
Aqsa, lalu dipindah ke Ka’bah. Maka menentukan arah kiblat adalah upaya
menentukan posisi Ka’bah dari tempat kita berdiri di muka bumi,” jelasnya.
Selain Mutoha, hadir pula pemateri lain seperti Oman
Fathurohman, pakar ilmu falak dari Muhammadiyah; Yudhiakto Pramudya, Kepala
Pusat Studi Astronomi UAD; serta Najmuddin Saifullah dari Majelis Tarjih dan
Tajdid PWM DIY. Para pemateri memberikan wawasan mendalam baik dari sisi
astronomi maupun fikih.
Materi pelatihan meliputi teori dasar arah kiblat dan
berbagai metode praktis untuk mengukurnya. Di antaranya adalah metode arah
utara geografis (true north), metode kiblat harian, dan metode rashdul kiblat
global. Peserta juga diajarkan cara menghitung arah kiblat menggunakan
kalkulator dan GPS, serta pemanfaatan aplikasi seperti GPS Test di Android.
Tak hanya itu, disampaikan pula panduan penggunaan alat
seperti teodolit dan langkah-langkah teknis lainnya, mulai dari pemilihan
lokasi dan waktu pengukuran, orientasi alat, hingga penanganan kendala teknis
di lapangan.
Peserta kegiatan ini datang dari berbagai latar belakang,
mulai dari Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), mahasiswa fisika, hingga alumni
Pendidikan Ulama Tarjih Muhammadiyah (PUTM). Setelah sesi materi dan simulasi,
peserta ditugaskan untuk mengukur arah kiblat masjid di lingkungan mereka dan
mengedukasi masyarakat secara langsung.
Pelatihan ini diharapkan kesadaran akan pentingnya
akurasi arah kiblat semakin meluas. Selain sebagai bentuk tanggung jawab
ibadah, kegiatan ini juga menjadi bagian dari upaya membangun budaya ilmiah
dalam beragama yang rasional, berbasis data, dan bertanggung jawab.
Editor, Angcel
Sumber, Muhammadiyah Or Id