LPKAPNEWS - Lebih dari sekadar pelanggaran moral
individu, zina memiliki dampak berantai yang merusak, terutama pada status dan
hak-hak seorang anak yang tak berdosa. Sepanjang peradaban Islam, para ulama
telah berusaha memberikan solusi untuk melindungi anak hasil zina.
Syariat memberikan peringatan keras terhadap zina. Bukan
semata karena pelanggaran moralnya, tetapi karena dampak luas yang
ditimbulkannya. Allah SWT dengan tegas melarang zina dalam firman-Nya QS.
Al-Isra’ Ayat 32:
وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا ۖ إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً
وَسَاءَ سَبِيلًا
“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu
adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.”
Ayat ini bukan hanya melarang perbuatan zina itu sendiri,
melainkan juga melarang segala hal yang mendekatkan pada zina. Ini adalah
peringatan keras tentang betapa berbahayanya perbuatan ini dalam pandangan
syariat.
Salah satu dampak paling nyata dan menyakitkan dari zina
adalah kerusakan pada nasab (garis keturunan) anak. Konsekuensi dari putusnya
nasab ini sangatlah besar, meliputi hak perwalian, warisan, hingga hal-hal yang
berkaitan dengan mahram.
Rasulullah SAW bersabda dalam Bukhari dan Muslim:
الْوَلَدُ لِلْفِرَاشِ وَلِلْعَاهِرِ الْحَجَرُ
“Anak itu milik pemilik ranjang (suami yang sah), dan
bagi pezina adalah (hukuman) batu (rajam).”
Hadis ini secara gamblang menjelaskan bahwa nasab anak
melekat pada pernikahan yang sah, bukan pada hubungan gelap. Ini adalah
perlindungan syariat terhadap kekacauan nasab dan kejelasan hak-hak dalam
keluarga.
Memang, saat ini, hukum di Indonesia melalui Kompilasi
Hukum Islam (KHI) dan Undang-Undang Perkawinan, serta diperkuat oleh Putusan
Mahkamah Konstitusi, telah berupaya memberikan solusi untuk status anak hasil
zina.
Ada kemungkinan anak bisa dinasabkan kepada laki-laki
yang menikahi ibunya. Ini adalah langkah maju demi kemaslahatan anak, agar
hak-hak dasar mereka seperti nafkah, pendidikan, dan kesehatan tetap terpenuhi,
serta untuk memberikan kejelasan status di mata hukum negara.
Namun, di balik upaya hukum manusia untuk mengatasi
dampak zina, tetap ada pertimbangan mendalam yang harus kita renungkan.
Meskipun secara hukum positif status anak mungkin “terang benderang”, kita
tidak pernah tahu secara pasti bagaimana status itu di hadapan Allah SWT.
Pertanyaan tentang nasab yang “benar” di mata Tuhan tetap menghantui hati
nurani.
Oleh karena itu, meskipun pintu taubat senantiasa terbuka
luas bagi mereka yang menyesali perbuatannya, dan meskipun hukum negara
berupaya melindungi yang tak bersalah, kesadaran akan dampak jangka panjang
zina, terutama pada status anak, harus menjadi pengingat kuat.
Janganlah mendekati zina, karena risiko besar yang
ditanggung oleh generasi penerus yang tak berdosa, serta ketidakjelasan di
hadapan Sang Pencipta. Menjauhi zina adalah langkah awal untuk menjaga
kemuliaan diri dan generasi.
(Redaksi)