LPKAPNEWS, YOGYAKARTA – Harta,
kekuasaan, dan kedudukan kerap menjadi sorotan dalam kehidupan manusia. Bagi
sebagian orang bahkan memandang urusan duniawi tersebut merupakan jalan menuju
keburukan.
Dalam acara Pengajian Malam Selasa pada Senin (15/07), Anggota Majelis
Tabligh Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Fajar Rachmadhani, mengupas tuntas
perspektif Islam mengenai interaksi manusia dengan dunia dan harta, merujuk
pada pemikiran Imam Ibnu Qudamah.
Fajar Rachmadhani mengawali kajiannya dengan menjelaskan pandangan Imam
Ibnu Qudamah dalam kitab Mukhtasar
Minhajul Qasidin. Ia menekankan bahwa harta tidaklah tercela karena
zatnya, melainkan karena orang yang menggunakannya.
Menurutnya, yang menjadi masalah adalah ketika seseorang berusaha
mendapatkan harta, jabatan, atau kedudukan dengan cara yang tidak dibenarkan
syariat, atau ketika harta yang diperoleh secara halal namun diperuntukkan pada
jalan yang tidak syar’i.
Pentingnya sikap proporsional ini diperkuat dengan sabda Nabi Muhammad
Saw. Fajar Rachmadhani menyebutkan bahwa kedua kaki seorang hamba tidak akan
bergeser pada Hari Kiamat sampai ia ditanya tentang empat perkara, dan salah
satunya adalah “tentang hartanya, dari mana ia memperolehnya dan untuk apa ia
membelanjakannya.”
Ini mengindikasikan bahwa baik cara mendapatkan maupun cara
mendistribusikan harta haruslah baik. Ia juga mengingatkan bahwa harta dan
keturunan bisa menjadi ujian, sebuah amanah yang akan dimintai
pertanggungjawaban di kemudian hari, merujuk pada firman Allah dalam Al-Qur’an.
Untuk menggambarkan dahsyatnya fitnah dunia, Fajar Rachmadhani mengutip
sebuah hadis riwayat Tirmidzi. Nabi Muhammad Saw bersabda, “Dua serigala lapar
yang dilepaskan di tengah kawanan kambing tidaklah lebih merusak daripada
ketamakan seseorang terhadap harta dan kehormatan (kedudukan).”
Perumpamaan ini menunjukkan bahwa ketamakan dan keserakahan manusia
terhadap dunia bisa lebih menghancurkan daripada predator sekalipun. Banyak
kasus perselisihan, bahkan pertumpahan darah, terjadi karena persoalan harta.
Para ulama salaf, seperti Umar bin Khattab, sangat berhati-hati terhadap
fitnah harta. Fajar Rachmadhani mencontohkan bagaimana Umar bin Khattab pernah
menangis ketika terjadi banyak pembebasan negeri pada masa kekhalifahannya,
khawatir akan dampak kekayaan yang melimpah tersebut.
Yahya bin Mu’adz mengibaratkan harta sebagai kalajengking atau ular.
Kalajengking memiliki bisa yang mematikan, tetapi juga memiliki manfaat
(penawar). Demikian pula harta; di satu sisi memiliki potensi merusak (racun),
di sisi lain memiliki manfaat (penawar).
Menurut Fajar Rachmadhani, cara untuk selamat dari “sengatan” harta adalah
dengan memanfaatkannya secara benar dan proporsional.
Yahya bin Mu’adz juga menjelaskan dua kerugian yang akan dihadapi
seseorang jika tidak bijak dalam menyikapi harta ketika meninggal dunia. “Dua
musibah bagi seorang hamba terkait hartanya saat kematiannya: ia
meninggalkannya seluruhnya, dan ia akan ditanya tentangnya seluruhnya.”
Ini berarti harta yang dikumpulkan selama hidup akan ditinggalkan dan
diwariskan, namun di akhirat nanti, pemiliknya tetap akan dimintai
pertanggungjawaban atas setiap recehnya.
Harta Tidak Selalu Tercela
Fajar Rachmadhani menegaskan bahwa Islam tidak sepenuhnya menghinakan
harta. Harta juga memiliki sisi positif dan manfaat besar jika digunakan dengan
benar. Ia menyatakan bahwa harta itu sepatutnya dipuji, sebab Allah SWT bahkan
menyebut harta sebagai “penopang kehidupan” dalam Al-Qur’an Surat An-Nisa ayat
5.
“Harta dapat menjadi sebab terwujudnya kemaslahatan agama dan dunia,” kata
Fajar.
Said bin Musayyib mengatakan, “Tidak ada kebaikan pada seseorang yang
tidak mau mengikhtiarkan harta dengan cara yang halal untuk menjaga
kehormatannya dari orang lain dan menyambung silaturahimnya.” Harta juga dapat
mencegah seseorang dari meminta-minta.
Imam Sufyan Ats-Tsauri menyatakan bahwa “Harta di zaman kita ini adalah
senjatanya orang mukmin.” Dengan harta, seorang muslim dapat berkontribusi
besar untuk agama, seperti mendanai perjuangan, membangun fasilitas umum, atau
membantu sesama.
Fajar Rachmadhani kemudiaan merinci manfaat harta dalam aspek agama: Harta
memungkinkan seseorang melaksanakan ibadah seperti haji dan jihad, yang
membutuhkan dukungan finansial.
Sebuah kaidah menarik menyatakan, “Satu ibadah yang tidak akan bisa
ditegakkan kecuali dengan sesuatu yang lain, maka mencari sesuatu yang lain itu
adalah bentuk ibadah.” Contohnya, membeli pakaian salat atau mushaf Al-Qur’an
yang diperlukan untuk ibadah.
Selain itu, harta dapat didistribusikan kepada orang lain dalam bentuk
sedekah, yang memiliki keutamaan besar. Harta juga berfungsi untuk menjaga
kehormatan seseorang atau orang lain, misalnya melalui hadiah atau jamuan
kepada tamu.
Bahkan, harta dapat digunakan untuk mempertahankan nama baik, seperti
membayar utang yang mengancam reputasi keluarga. Rasulullah Saw bersabda, “Apa
yang dikeluarkan oleh seseorang untuk menjaga harga dirinya adalah sedekah.”
Terakhir, harta dapat dipakai untuk membayar orang lain melakukan
pekerjaan duniawi, sehingga seseorang dapat lebih fokus pada ibadah. Menurut
Fajar, ini merupakan tindakan yang sangat dihargai dalam Islam.
Harta juga penting untuk kemaslahatan umum. Fajar Rachmadhani mencontohkan
penggunaan harta untuk membangun masjid, madrasah, atau jalan yang bermanfaat
bagi masyarakat luas, selama niatnya ikhlas karena Allah.
Fajar Rachmadhani menyimpulkan bahwa harta, dunia, kedudukan, dan jabatan
tidak selamanya berkonotasi negatif atau tercela. Semuanya kembali pada niat
dan cara penggunaannya.
Jika digunakan dengan tulus, proporsional, dan untuk kemaslahatan, harta
dapat menjadi senjata bagi orang beriman dan sarana untuk meraih keberkahan di
dunia dan akhirat.
Editor,
Angcel
Sumber,
Muhammadiyah Or Id