LPKAPNEWS, MEDAN – Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) baru-baru ini kembali menegaskan larangan rangkap jabatan bagi wakil menteri (wamen) sebagai komisaris BUMN maupun perusahaan swasta.
Meskipun permohonan uji materi yang
diajukan tidak dapat diterima karena pemohonnya telah meninggal dunia, MK tetap
menyampaikan pertimbangan hukum yang sangat penting: jabatan wakil menteri
tunduk pada prinsip yang sama dengan jabatan menteri—yakni tidak boleh
merangkap posisi lain yang berpotensi menimbulkan konflik kepentingan.
Farid Wajdi, Founder Ethics of Care/Anggota Komisi Yudisial 2015-2020 menjelaskan, bahwa putusan MK itu bukan sekadar tafsir hukum administratif. Di balik itu tersimpan pesan mendalam tentang integritas, etika, dan tanggung jawab pejabat publik.
Persoalan rangkap jabatan telah lama menjadi
perbincangan, terutama ketika sejumlah pejabat tinggi negara merangkap posisi
strategis di perusahaan pelat merah, yang seharusnya diawasi oleh kementerian
tempat mereka sendiri bekerja. Situasi ini menciptakan ruang abu-abu antara
kepentingan publik dan kepentingan korporasi.
Jelas Farid Wajdi yng kini dosen di Pascasarjana UMSU itu, secara hukum, larangan rangkap jabatan bertujuan menjaga netralitas dan profesionalitas pejabat negara dalam menjalankan tugasnya.
Seorang wakil menteri, meski bukan pejabat setingkat
menteri secara hierarki, tetap memiliki akses strategis terhadap kebijakan,
anggaran, dan keputusan penting yang menyangkut pengelolaan negara. Jika dalam
saat yang sama menjabat sebagai komisaris BUMN, muncul potensi tumpang tindih
kepentingan: antara tugas sebagai pelayan negara dan posisi sebagai pengawas
korporasi yang bisa mendapatkan insentif finansial.
Etika jabatan publik seharusnya menuntut pengabdian penuh. Publik menaruh ekspektasi tinggi kepada pejabat tinggi negara untuk menjaga komitmen pada kepentingan bersama, bukan membagi perhatian antara urusan negara dan urusan perusahaan.
Rangkap jabatan dalam
konteks ini bukan hanya soal pelanggaran norma hukum, tetapi juga pelanggaran
etika dan rasa keadilan publik.
Lebih dari itu, jelas Farid Wajdi, keputusan MK juga menjadi cermin penting tentang batas-batas kuasa dalam pemerintahan. Kekuasaan yang dijalankan tanpa pengawasan etis akan mudah tergelincir ke dalam praktik-praktik eksklusif yang merugikan demokrasi dan tata kelola pemerintahan yang baik.
Dalam hal ini, publik berhak menuntut
agar pejabat negara tidak hanya patuh terhadap hukum, tetapi juga menjunjung
tinggi nilai moral dan kenegarawanan.
Respons terhadap
putusan MK tersebut kini menjadi ujian bagi para wakil menteri yang diketahui
masih merangkap jabatan komisaris. Melepaskan jabatan tersebut secara sukarela
akan menunjukkan kedewasaan politik dan penghormatan terhadap konstitusi.
Sebaliknya, mempertahankan dua posisi sekaligus menunjukkan resistensi terhadap
nilai-nilai etis yang seharusnya menjadi landasan utama dalam penyelenggaraan
pemerintahan.
Presiden, sebagai kepala pemerintahan, juga memiliki peran strategis dalam
menegakkan etika birokrasi. Ketegasan dalam merespons putusan ini bukan hanya
soal pelaksanaan hukum, melainkan juga upaya membangun kembali kepercayaan
publik terhadap pemerintah. Kebijakan yang eksplisit, yang melarang rangkap
jabatan di lingkungan eksekutif, akan menjadi langkah afirmatif yang dinanti.
Dalam demokrasi yang sehat, pejabat publik seharusnya tidak berada dalam posisi memilih antara hukum dan etika. Keduanya seharusnya berjalan beriringan. Sayangnya, dalam praktik, masih banyak yang berpegang pada batas hukum formal dan mengabaikan aspek moral yang melekat pada jabatan publik.
Padahal, ukuran kepemimpinan bukan semata
kepatuhan terhadap aturan, tetapi kemauan untuk melampaui batas minimal demi
menjaga integritas jabatan.
Menjawab pertanyaan jurnalis, Farid mengatakan, putusan MK ini tidak hanya menjadi pengingat konstitusional, tetapi juga undangan untuk refleksi kolektif di tengah merosotnya kepercayaan terhadap elite kekuasaan.
Jabatan publik adalah amanah,
bukan privilese. Pejabat yang benar-benar memahami makna pengabdian tentu tahu
kapan harus memilih dan kapan harus mundur demi kehormatan jabatan itu sendiri.
Editor, Angcel
Sumber, Infomu