LPKAPNEWS.COM, YOGYAKARTA — Anggota Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah Ruslan menegaskan bahwa
manhaj tarjih Muhammadiyah tidak hanya sekadar metode pengambilan hukum, tetapi
juga cerminan cara beragama yang seimbang (Wasathiyah) dan berorientasi pada
tujuan syariat (maqasid syariah).
“Tema ini sangat luas,
namun merupakan bagian integral dari manhaj tarjih itu sendiri. Wawasan
wasathiyah dan ijtihad maqasidi menjadi dua pilar baru yang memperkaya manhaj
tarjih hasil Munas Tarjih Satu Abad,” ujar Ruslan dalam Pengajian Tarjih pada
Rabu (11/06).
Munas Tarjih Satu Abad
di Pekalongan tahun 2024 menghasilkan beberapa tambahan penting dalam manhaj
tarjih Muhammadiyah sebagai respons terhadap perkembangan zaman. Salah satunya
adalah penguatan wawasan wasathiyah.
Wawasan wasathiyah ini
sebagai salah satu dari enam wawasan utama manhaj tarjih, melengkapi wawasan
sebelumnya, yaitu paham agama, tajdid, toleransi, keterbukaan, dan tidak
berafiliasi mazhab.
“Wawasan wasathiyah
ini merespons keputusan Muktamar Muhammadiyah sebelumnya, sekaligus menegaskan
bahwa Islam harus hadir tidak hanya melalui pendekatan formal, tetapi juga
substantif,” jelas Ruslan.
Selain itu, metode
ijtihad dalam manhaj tarjih kini diperkuat dengan tiga asumsi dasar:
integralistik, hierarki, dan kebermaksudan (maqasid syariah). Asumsi
kebermaksudan menjadi tambahan baru yang menekankan pentingnya menggali tujuan
esensial syariat dalam setiap hukum yang dihasilkan.
“Kita harus yakin
bahwa setiap hukum yang disyariatkan Allah pasti memiliki maksud dan tujuan,
baik untuk dunia maupun akhirat,” tegas Ruslan.
Wawasan
Wasathiyah
Ruslan menjelaskan
bahwa wawasan wasathiyah, secara bahasa, berasal dari kata wasthun yang berarti seimbang atau moderat. Dalam
konteks keberagamaan, wasathiyah merujuk pada cara beragama yang tidak
berlebihan (ghuluw) maupun
mengabaikan ajaran agama (ifrat).
“Moderasi keberagamaan
adalah cara beragama yang menghadirkan Islam sebagai solusi, tidak hanya untuk
urusan ukhrawi, tetapi juga duniawi, spiritual, dan material,” paparnya.
Ciri-ciri keberagamaan
Wasathiyah meliputi keseimbangan antara dunia dan akhirat, kesalehan vertikal
(hubungan dengan Allah) dan horizontal (hubungan sosial), serta sikap toleransi
dan keterbukaan.
Landasan wasathiyah
ini kuat, sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur’an, khususnya Surah Al-Baqarah
ayat 143, yang menyebut umat Islam sebagai ummatan
wasatan (umat
pertengahan, adil, dan ideal).
Hadis Nabi Muhammad
SAW juga menegaskan pentingnya beragama secara al-hanifiyyah
as-samhah (lurus dan
toleran), sebagaimana jawaban Rasulullah ketika ditanya tentang model
keberagamaan yang paling dicintai Allah.
“Dalam manhaj tarjih,
wasathiyah tidak hanya sikap sosial, seperti menghargai perbedaan pandangan,
tetapi juga diterapkan dalam proses istimbath hukum. Memahami Al-Qur’an dan
hadis harus holistik, tidak parsial, agar terhindar dari ekstremisme atau pemahaman
harfiah,” tambah Ruslan.
Ijtihad
Maqasidi
Pilar kedua yang
ditekankan Ruslan adalah ijtihad maqasidi, yaitu proses pengambilan hukum yang
berfokus pada tujuan syariat. Dalam manhaj tarjih, ijtihad maqasidi diwujudkan
melalui metode bayani (interpretasi teks), kausasi (mencari sebab hukum), dan sinkronisasi
(mengkompromikan dalil yang tampak bertentangan).
Ketiga metode ini
berlandaskan pada asumsi integralistik, hierarki, dan kebermaksudan.
“Ijtihad maqasidi
mengajak kita untuk tidak hanya berhenti pada hukum formal, seperti
halal-haram, tetapi menggali substansi syariat. Misalnya, dalam Fikih
(Perlindungan) Anak, Muhammadiyah tidak hanya membahas cara merawat anak,
tetapi juga nilai universalnya, seperti menjaga jiwa (hifzun nafs), keturunan (hifzun nasl), akal (hifzul aql), harta (hifzul mal), dan agama (hifzuddin),” ungkap Ruslan.
Sebagai contoh, Fikih
Perlindungan Anak Muhammadiyah mengintegrasikan pendekatan preventif untuk
mencegah stunting, kematian balita, atau aborsi, yang mencerminkan hifzun nafs. Fikih ini juga membahas hak identitas anak
adopsi agar tetap terjaga (hifzun nasl) dan perlindungan harta anak yatim (hifzul mal).
“Ini menunjukkan bahwa
ijtihad maqasidi sudah diterapkan dalam produk tarjih, meski belum selalu
disadari sebagai istilah populer,” ujarnya.
Contoh lain adalah
Fikih Difabel, yang tidak hanya membahas prosedur ibadah, seperti wudu bagi
penyandang disabilitas, tetapi juga hak mereka dalam pendidikan, pernikahan,
dan keberagamaan.
“Fikih (Difabel) ini
mencerminkan maqasid syariah yang menjamin hifzuddin, hifzul aql, dan hifzun nasl secara komprehensif,” tambah Ruslan.
Ruslan menegaskan
bahwa ijtihad maqasidi menghasilkan fatwa yang relevan dengan konteks zaman.
Misalnya, dalam penggunaan air untuk wudu, pendekatan maqasidi tidak hanya
berpatokan pada jumlah air dua kullah, tetapi juga mempertimbangkan kebersihan air berdasarkan kajian ilmiah.
“Agama tidak memaksa
menggunakan air yang terkontaminasi bakteri, karena tujuan syariat adalah
mendatangkan maslahah dan menghindari mafsadah,” jelasnya.
Pengajian ini, menurut
Ruslan, menjadi pembuka untuk diskusi lebih mendalam tentang maqasid syariah
dalam manhaj tarjih. Ia berharap para ahli di lingkungan Majelis Tarjih akan
melanjutkan pembahasan secara lebih spesifik dan argumentatif.
“Tema ini berat,
tetapi harus dimulai. Ke depan, kita perlu serial kajian, melibatkan teori
klasik seperti Al-Ghazali dan Asy-Syatibi, serta kajian kontemporer seperti
Jasser Auda,” harapnya.
Ruslan juga mengajak
warga Muhammadiyah untuk membaca buku Risalah Islam Berkemajuan (RIB) yang menjadi referensi penting. Buku
ini menegaskan bahwa wasathiyah dan maqasid syariah tidak hanya relevan sebagai
sikap sosial, tetapi juga sebagai panduan istimbath hukum yang komprehensif.
“Kita harus yakin
bahwa setiap hukum syariat memiliki tujuan. Jika belum menemukan tujuan
spesifik, setidaknya kita pahami tujuan umumnya: kebaikan dunia dan akhirat,”
kata Ruslan.
Acara ini menjadi
langkah awal menuju penguatan manhaj tarjih sebagai pedoman beragama yang tidak
hanya legal-formal, tetapi juga menyentuh esensi syariat, sehingga agama
menjadi kebutuhan, bukan sekadar kewajiban, (M or id)