LPKAPNEWS. COM, YOGYAKARTA — Lebih dari 14 abad peradaban Islam telah menggoreskan tinta emas dalam sejarah dunia. Namun, di tengah kemajuan zaman dan penyebaran umatnya yang kini merangkul setiap penjuru bumi, Islam masih menghadapi tantangan mendasar.

Menurut Sekretaris Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah Muhamad Rofiq Muzakkir dalam acara Sosialisasi Kalender Hijriah Global Tunggal (KHGT) pada Rabu (11/06), salah satu tantangan mendasar itu ialah ketiadaan kalender Islam yang seragam.

Ketidakpastian ini bukan sekadar soal penanggalan, tetapi juga cerminan tantangan menyatukan umat dalam harmoni ibadah dan organisasi waktu.

Bayangkan, setiap tahun, umat Islam di berbagai belahan dunia menanti pengumuman kapan Ramadan tiba atau hari raya dirayakan. Menurut Rofiq, tanpa kalender yang menyatukan, 1 Ramadan bisa jatuh pada dua, tiga, bahkan empat hari berbeda. 

Misalnya, pada 1446 Hijriah, Malaysia menetapkan 1 Ramadan pada 2 Maret 2025 dan 1 Syawal pada 31 Maret 2025, sementara Arab Saudi memilih 1 Maret untuk Ramadan dan 30 Maret untuk Syawal. Seorang Muslim Malaysia yang memulai puasa di negaranya, lalu melaksanakan umrah dan berlebaran mengikuti penanggalan Arab Saudi, hanya akan berpuasa 28 hari—kurang dari ketentuan syariat.

Sebaliknya, seorang Muslim Indonesia yang memulai puasa pada 1 Maret 2025, lalu merayakan Idulfitri di Australia pada 1 April 2025, bisa berpuasa hingga 31 hari.

Ketimpangan ini bukan hanya membingungkan, tetapi juga mengganggu esensi ibadah yang seharusnya menyatukan.

Padahal, kata Rofiq, Islam adalah fenomena global. Umatnya telah berdiaspora, dari kampung-kampung di Nusantara hingga kota-kota metropolitan di Barat. Sebagai agama universal, Islam memerlukan sistem waktu yang juga universal, yang mampu menjadi patokan bagi umat untuk mengatur ibadah dan kehidupan secara sinkron.

Kalender yang seragam bukan sekadar alat teknis, tetapi juga simbol persatuan, menjembatani perbedaan geografis dan budaya.

Karena itu, langkah Muhammadiyah untuk mendukung dan menerapkan Kalender Hijriah Global Tunggal (KHGT) patut diapresiasi. KHGT menawarkan solusi dengan mengintegrasikan perhitungan astronomis yang presisi, sehingga penanggalan dapat diprediksi jauh hari dengan akurasi tinggi.

Lebih dari itu, KHGT adalah upaya merajut kesatuan umat, memastikan bahwa ketika seorang Muslim di Jakarta berbuka puasa, saudaranya di Kairo atau London dapat berbuka pada hari yang sama, dengan semangat yang selaras.

Tentu, mengadopsi kalender global bukan tanpa tantangan. Perbedaan tradisi, sensitivitas budaya, dan kebiasaan lokal perlu dijembatani dengan dialog dan edukasi. Namun, jika umat Islam mampu membangun peradaban gemilang di masa lalu, bukankah menyatukan penanggalan adalah langkah yang layak diperjuangkan?

Dengan KHGT, umat Islam tidak hanya merapikan waktu, tetapi juga memperkuat ikatan sebagai komunitas global. Sebab, dalam keseragaman waktu, terkandung harapan akan persatuan yang lebih kokoh, menuju peradaban Islam yang semakin bermartabat, (M or id)