LPKAPNEWS, YOGYAKARTA – Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Haedar Nashir, menegaskan bahwa pemberlakuan Kalender Hijriah Global Tunggal (KHGT) tidak akan menjadikan Muhammadiyah tercerabut dari akar kebangsaan Indonesia.

“Muhammadiyah dengan kalender global ini tidak akan tercerabut dari Indonesia sebagai negara bangsa,” ujarnya dalam pidato kunci peluncuran KHGT di Universitas ‘Aisyiyah Yogyakarta (UNISA), Rabu (25/6).

Menurut Haedar, KHGT merupakan langkah strategis dalam menjawab tantangan globalisasi yang menuntut adanya sistem penanggalan Islam yang seragam di seluruh dunia. “Globalisasi ini seperti kereta raksasa. Bila kita tidak siap, kita akan tergilas. Tapi jika mampu memanfaatkannya, ia akan menjadi kendaraan penting dalam menjelajahi dunia,” tegasnya.

Di tengah arus global yang tak terhindarkan, Haedar menekankan perlunya kalender yang menyatukan umat Islam dalam satu waktu, satu hari, satu tanggal yang sama, tanpa menghilangkan identitas nasional. 

Ia menyebut, Islam sejak awal adalah agama kosmopolit, dengan semangat rahmatan lil ‘alamin yang menembus batas-batas bangsa dan wilayah. Dalam pandangannya, KHGT adalah kelanjutan dari semangat itu.

Namun, Haedar menekankan bahwa perjuangan ini tidak berarti melepas komitmen kebangsaan. Muhammadiyah, kata dia, telah membuktikan loyalitasnya terhadap Indonesia bahkan sejak sebelum kemerdekaan.

“Kita punya Darul Ahdi Wasyahadah sebagai panduan berpikir dan bertindak. Maka kita akan tetap berpijak di bumi Indonesia sembari membuana untuk kemaslahatan umat global,” ungkapnya.

KHGT, dalam pandangan Haedar, juga menjadi bagian dari jihad akbar umat Islam. Ia mengajak semua pihak untuk menyisihkan perbedaan kepentingan dan mazhab demi persatuan. Ia menyesalkan, jika urusan kalender yang bersifat eksak dan ilmiah justru menjadi sumber perpecahan.

“Kalau soal fikih atau perbedaan dalam bacaan salat, itu tidak apa-apa. Tapi ketika menyangkut rotasi bulan, matahari, dan bumi, itu hal pasti. Kenapa bisa beda satu hingga tiga hari antara satu ormas dengan ormas lain?” tuturnya.

Haedar menggarisbawahi bahwa perbedaan yang menyangkut soal eksak seharusnya tidak terus dipertahankan demi status quo. Bahkan, ia menyebut KHGT sebagai bentuk keterbukaan terhadap ijtihad baru dan perkembangan ilmu.

“Metode itu hanya wasilah. Kalau metodenya perlu dikoreksi, mari kita koreksi. Jangan merasa malu untuk berubah,” ujarnya. Dalam hal ini, Muhammadiyah, menurutnya, juga bersedia membuka ruang dialog dan siap menerima kritik dengan lapang dada.

Ia menyitir prinsip ilmu pengetahuan yang terbuka pada pembaruan sebagaimana konsep falsifikasi dalam teori sains. “Kita harus berani berubah dari ijtihad lama ke ijtihad baru. Itu adalah implementasi dari perintah ‘Iqra’ dan bagian dari tanggung jawab keilmuan kita,” lanjutnya.

Dalam semangat itu, KHGT hadir bukan untuk menjadi milik eksklusif Muhammadiyah, tetapi untuk seluruh umat Islam.

“Hilangkan saja nama Muhammadiyah dari kalender ini. Yang penting kita punya satu hari, satu tanggal yang sama di seluruh dunia Islam,” tandas Haedar, seraya mengajak umat Islam untuk menapaki abad baru dengan ukhuwah dan komitmen keilmuan.

Haedar pun menutup pidato kuncinya dengan optimisme: meski jalan KHGT terjal, perjuangan ini bukan untuk esok atau lusa saja, tapi untuk 10, 50 bahkan 100 tahun ke depan. Kalender ini bukan hanya soal waktu, tetapi tentang masa depan peradaban Islam, (Sumber Muhammadiyah Or Id)